Ketika Lembaga Negara Salah Beri Stempel Hoax Soal Papua 

Ketika Lembaga Negara Salah Beri Stempel Hoax Soal Papua 

Jakarta, Cyberthreat.Id - Lembaga negara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) baru-baru ini memberi stempel hoax atau disinformasi terhadap konten Twitter Veronica Koman, seorang pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang mengadvokasi kasus Papua. Belakangan, setelah diprotes sana-sini, Kominfo mengaku telah salah menilai cuitan Veronica tersebut. 

Protes bermula setelah Kominfo menerbitkan artikel dalam situsnya dengan menyebut "Polres Surabaya Menculik Dua Orang Pengantar Makanan untuk Mahasiswa" sebagai hoaxs. Artikel itu tayang pada 19 Agustus 2019. 

Dalam artikel itu disebutkan, informasi "penculikan" merujuk pada cuitan Verinica Koman pada Sabtu, 17 Agustus. Kominfo menulis telah beredar kabar adanya penculikan dua mahasiswa yang ditangkap hanya karena mengantarkan makanan untuk penghuni asrama mahasiswa Papua yang dikepung oleh petuggas gabungan TNI/Polri di Surabaya.

“Kasat Intel Polrestabes Surabaya AKBP Asmoro membantah terjadinya penculikan. Ia menjelaskan, kepolisian hanya mewawancarai dan memeriksa kedua orang tersebut,” tulis Kominfo. 

Veronica membantah menyebut adanya “penculikan” dalam cuitannya. “Twit saya tidak menyebutkan bahwa 2 pengantar makan tersebut diculik, namun ditangkap. Saya bicara berdasarkan definisi KUHAP. Bahkan 2 orang tersebut menandatangani BAP. Apa itu namanya bukan ditangkap?” kata Veronica.

Dia pun meminta agar Kominfo memberikan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka karena telah melakukan pencemaran nama baik terhadapnya.

Dilihat cyberthreat.Id, cuitan Veronica memang tak menyebut kata "penculikan". Dalam cuitan yang disertai video singkat itu, Veronica menulis "2 pengantar makan minum ke 15 orang Papua yang terperangkap malah ditendang, dipukul, ditarik, dan ditangkap pada jam 2 pagi." 

Penangkapan dan penculikan adalah dua hal berbeda. Penangkapan merupakan bentuk upaya paksa yang menjadi wewenang kepolisian, sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan, penculikan merupakan tindakan kejahatan.

Walhasil, pernyataan Kominfo itu menuai protes dari sejumlah pihak di sosial media. 

Salah satunya datang dari pemilik akun @Aufklarung00 milik Asep Komarudin. Asep menulis,"Bapak @rudiantara_id saya mau lapor ini webnya @kemkominfo menyebarkan Informasi Hoax mohon segera diblokir dan pengelola admin twiternya di usut pak krn menimbulkan keresahan dan menyebarkan Informasi BOHONG."

"Ketahuan @kemkominfo yang memproduksi dan menyebarkan hoax," sambar akun milik Institut Ecosoc Rights

"2beer! Kebiasaan pemerintah asal klaim kalau informasi yg beredar di masyarakat adalah "Hoax" itu udah mulai toxic bgt sih. Emang sejak kapan kebenaran menjadi monopoli aparat resmi negara, sih?," tambah akun @tubirfess. 

"Bahkan dalam kasus ini @kemkominfo sendiri yang membuat dan menyebarkan hoaks. Dan atas dasar hoaks (yang dibuatnya sendiri) itu, lalu melakukan throttling alias pelambatan akses internet di Papua dengan alasan "untuk menghindari hoaks," cuit jurnalis cum aktivis Dandhy Dwi Laksono.

Protes juga datang dari jurnalis senior Farid Gaban. Farid menulis,"Saya bersama @VeronicaKoman, yang hari-hari ini dibully dan dituding sbg provokator kisruh Papua. Anak muda yang hebat, yang meninggalkan kenyamanan sebagai lulusan universitas orang kaya, dan memilih bekerja membela yang tertindas di tingkat grassroot."

Setelah protes yang menderas itu, dua hari berselang, Kominfo mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Veronica Koman. 

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan pemberian cap itu keliru.

Ia menjelaskan, tim verifikasi hoaks lengah dalam memeriksa fakta saat itu. “Atas permintaan dari Pak Menteri (Rudiantara), kami ingin sampaikan permohonan maaf kepada beliau (Veronica) dan kami juga sampaikan situasinya seperti apa (yang telah terjadi)," katanya kepada wartawan, Rabu, 21 Agustus 2019. 

Ferdinandus mengatakan, kementeriannya telah berupaya menyampaikan permohonan maaf kepada Veronica atas kekeliruan tersebut melalui pesan langsung (direct message) di Twitter. Namun, belum ada respon dari Veronica. 

Pria yang akrab disapa Nando itu menegaskan bahwa kementeriannya bakal lebih teliti dalam memberikan stempel hoaks atau disinformasi. Bahkan, menurutnya, Menteri Kominfo Rudiantara akan memberikan pelatihan tambahan untuk mendorong akurasi timnya. 

"Itu permintaan Pak Menteri," katanya. Selama ini, timnya melakukan verifikasi hingga empat kali sebelum merilis stempel hoaks ataupun disinformasi ke publik. "Sekarang kami diminta untuk terus mengecek ulang (unggahan disinformasi)," kata dia.

Veronica sendiri membantah postingannya sebagai bentuk provokasi. 

"Kalau saya memang berniat provokasi, saya bisa. Dokumentasi yang saya terima jauh lebih banyak dari yang saya posting. Tapi saya filter mana yang perlu diketahui demi kepentingan publik. Sudah terlalu lama pemerintah menutup apa yang terjadi di Papua," cuit Veronica lewat akun Twitter @VeronicaKoman. 

Terkait permintaan maaf dari Kominfo, pada 23 Agustus 2019, Veronica menjawab,"Saya akan terima permintaan maaf dari @kemkominfo hanya apabila akses internet di Papua kembali dibuka."[]