Prancis Pajaki Facebook dkk, Trump Ancam dengan Pajak Anggur

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto: Oregonlive

Washington/Biarritz, Cyberthreat.id – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menebarkan sinyal ancaman jika Prancis memutuskan untuk memajaki raksasa teknologi media sosial asal Amerika Serikat.

Sebelum berangkat ke forum G7 (Prancis, AS, Inggris, Jerman, Jepan, Italia, dan Kanada) di Prancis, Jumat (23 Agustus), Trump mengatakan akan membalas Prancis dengan hal yang tak terduga dan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Meski dirinya mengaku bukanlah penggemar berat perusahaan teknologi, “Mereka adalah perusahaan Amerika yang hebat dan terus terang saya tidak ingin Prancis mengenakan pajak kepada perusahaan kami,” ujar dia seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (24 Agustus) yang diakses Minggu (25 Agustus 2019).

“Dan, jika mereka melakukan itu... kami akan mengenakan pajak anggur seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya,” Trump menambahkan.

Pada Juli lalu, Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mengatakan kepada The Guardian, bahwa pemerintahannya tidak akan mundur untuk penerapan pajak digital kepada raksasa medsos. “Kami menerapkan karena kami kira itu cara yang adil dan efisien memajaki mereka,” ujar dia.

Dan, harapan itu bisa terwujud dan disepakati dalam pertemuan G7 ini. Menurut Le Maire, sebagian perusahaan digital membayar pajak lebih sedikit karena sulit menentukan, di mana mereka benar-benar mendapatkan pendapatan. Apalagi mereka bisa mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan pajak rendah seperti Irlandia.

Pajak Gafa

Dikenal dengan istilah “Pajak Gafa” – akronim dari Google, Apple, Facebook, dan Amazon, pajak itu akan menarik tiga persen dari total pendapatan tahunan perusahaan yang menyediakan layanan kepada konsumen di Prancis.

“Kami telah mempelajari pajak digital ini selama lebih dari dua tahun di tingkat Uni Eerop, dan, sayangnya, kami belum dapat menemukan kompromi dengan negara-negara anggota UE lainnya karena empat negara – Irlandia, Denmark, Finlandia dan Swedia– menentang ini. Itulah sebabnya kami akhirnya memutuskan untuk terus maju di tingkat nasional,” kata Le Maire.

Dia menegaskan tidak ada unsur diskriminasi atau anti-AS dalam rencana itu karena perusahaan dari banyak negara berbeda masuk dalam lingkup pajak Prancis, termasuk dari Prancis sendiri dan China.

“Tidak ada yang paham, bahwa di Eropa atau AS raksasa internet tidak membayar tingkat pajak yang sama dengan perusahaan swasta lainnya– 14 poin lebih sedikit pajak untuk raksasa digital dibandingkan dengan perusahaan swasta lainnya, termasuk UKM," ia menambahkan.

“Semua orang sadar ada model bisnis baru yang mendapat untung dari pengumpulan dan penjualan data. Kami harus memiliki sistem pajak yang adil untuk model baru ini," kata dia.

Dan, dia memperingatkan AS untuk tidak melanjutkan tindakan hukum terhadap Prancis. “Kami sekutu dekat dan di antara sekutu cara terbaik untuk menyelesaikan kesulitan adalah dengan tidak masuk ke dalam logika sanksi dan pembalasan. Cara terbaik adalah bersama-sama di meja untuk mencari kompromi, dan itulah yang saya ingin lakukan dengan rekan saya, dengan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin," ujar La Maire.

Piagam Internet Aman

Terpisah di Biarritz, tuan rumah pertemuan G7, Prancis mengatakan, optimistis bahwa platform media sosial seperti Facebook, Google, dan Snapchat mau menandatangani janji untuk melawan ujaran kebencian online meski ada penundaan di menit-menit terakhir.

Prancis awalnya berharap para perusahaan raksasa media sosial menandatangani apa yang disebut  "Piagam untuk Internet Terbuka, Gratis, dan Aman" (Charter for an Open, Free, and Safe Internet) pada Jumat lalu.

Namun, hal itu batal. Menteri Junior Prancis untuk Industri Digital, Cedric O, mengatakan, penandatanganan itu ditunda dan akan dilakukan pada Senin (26 Agustus). "Gagasan awal adalah untuk membuat platform datang ke Biarritz dan sampai sekarang, Amerika Serikat menentang tanda tangan janji ini," kata Cedric O.

"Secara diplomatis, sangat sensitif untuk membuat platform AS datang ke Biarritz dan menandatangani sesuatu, sementara presiden Amerika tidak ada di sana," katanya.

"Tidak ada keraguan, bahwa jejaring sosial akan menandatangani perjanjian tersebut," ia menambahkan.

Diberitakan radio Europe 1, Presiden Trump telah menekan kepala eksekutif platform untuk tidak menandatangani perjanjian itu di depan umum meski pemerintah AS membantah adanya tekanan semacam itu.

"Tentu saja tidak ada tekanan dari kami. Kami mendengar dari beberapa perusahaan, bahwa mereka merasa tak nyaman dengan Prancis,” kata pejabat pemerintahan Trump kepada Reuters.

Pejabat itu mengatakan industri telah bersatu untuk mempermudah inisiatif. Gedung Putih sementara itu masih mengevaluasi hal tersebut.

Piagam tersebut bertujuan untuk menciptakan gerakan kolektif yang menjamin transparansi dan kerja sama untuk penggunaan internet yang aman dan positif.

Ini didasarkan pada kejadian serangan terorisme di Selandia Baru Maret lalu. Piagam itu sebuah komitmen platform, khususnya dalam hal menghapus konten, memoderasi, memastikan transparansi, dan mendukung para korban.