Smart Farming, Solusi Pertanian di Era Teknologi Informasi
Jakarta, Cyberthreat.id – Kalangan petani kini mulai mengikuti perkembangan teknologi informasi. Sejak 2018, pemerintah mengenalkan Smart Farming 4.0 sebuah metode baru di bidang pertanian.
Smart Farming diadakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang bekerja sama dengan PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa.
Metode tersebut untuk pertama kalinya diterapkan di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Sederhananya, metode ini adalah bertani dengan tepat yaitu mengidentifikasi keadaan yang dibutuhkan setiap tanaman. Tanaman mana yang membutuhkan air, tanaman mana yang harus diberikan pestisida, dan tanaman mana yang harus dipupuk.
Teknologi yang digunakan, di antaranya agri drone sprayer (drone penyemprot pestisida dan pupuk cair), drone surveillance (drone untuk pemetaan lahan) serta soil and weather sensor (sensor tanah dan cuaca).
Menurut Dirjen Pembangunan Daerah Tertinggal, Samsul Widodo, dengan Smart Farming ini petani diharapkan bisa memaksimalkan hasil pertanian, terutama dengan menggunakan sensor yang terdapat pada perangkat Internet of Things.
“Petani tidak perlu harus selalu ke sawah, mereka cukup menerima notifikasi melalui perangkat ponsel pintar mereka,” kata ujar Samsul ketika dihubungi oleh Cyberthreat.id, Minggu (18 Agustus 2019).
Sebelum menerapkan Smart Farming di Situbondo, pemerintah lebih dulu melakukan uji coba di beberapa daerah seperti Sleman, Wonogiri, dan Sumbawa. Ia mengungkapkan ada beberapa kriteria yang dirasa cocok untuk dilakukannya uji coba Smart Farming ini.
“Kami coba praktikkan dulu di tempat yang sinyalnya baik dan tidak ada kendala, sambil bertahap untuk replikasi (ke lokasi lain), “ ujar dia.
Smart Farming juga mengonsep sejak produksi hingga pemasaran. Widodo mengaku, kementerian mengajarkan kepada generasi muda di desa-desa tertinggal untuk memanfaatkan kehadiran e-commerce dan platform digital lainnya untuk memasarkan dan menjual hasil panen orangtuanya.
“Kami ajari anak-anak para petani untuk menjual produk mereka di e-commerce. Kami lakukan uji coba untuk menjual alpukat keluar daerah, dan ternyata itu bisa kok. Akhirnya mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih banyak,” ujar dia.
Metode Smart Farming ini juga cara untuk menarik minat generasi muda bertani. Minimnya regenarasi petani memang menjadi salah satu penghambat lajunya perkembangan di sektor pertanian. Penggunaan teknologi Smart Farming yang disesuaikan dengan zamannya, diharapkan mampu mengatasi masalah perawatan tanaman yang selama ini tidak bisa diselesaikan secara tradisional.
Redaktur: Andi Nugroho