AS Khawatir Serangan Siber Rusia Pada Pilpres 2020

Ilustrasi | Foto: Freepik

Washington, Cyberthreat.id- Amerika Serikat (AS) akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada November 2020 mendatang.

Meski, jangka waktunya masih sekitar satu tahun lagi, AS sudah mewanti-wanti serangan siber yang bakal terjadi pada moment tersebut.

Pasalnya, pada Pilpres 2016 lalu, pemerintahan AS menuding, pasukan siber Rusia telah melakukan sejumlah serangan.
Serangan yang dimaksud adalah, pasukan siber Rusia diklaim telah mengirim pesan phishing email dan menguji kerentanan sistem pemilihan.

Atas dasar kasus tersebut, sejumlah pejabat negara bagian di AS pun khawatir.Salah satunya adalah Gubernur negara bagian Illinois, JB Pritzker.

"Kita berada dalam masa yang tidak biasa, dan ya, ada kekhawatiran tentang apakah kita memiliki waktu cukup untuk memasuki tahun 2020 benar-benar siap untuk apa yang mungkin dilakukan oleh Cina, Rusia, atau Korea Utara atau musuh AS untuk memengaruhi pemilihan kita," kata Gubernur JB Pritzker, seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat, (16 Agustus 2019).

Memang, otoritas pemilihan negara bagian, disebutkan, lebih siap daripada empat tahun lalu, ketika mereka tidak fokus pada ancaman peretasan sistem pemungutan suara.

Tetapi perjuangan Illinois menggambarkan betapa tidak cocoknya sebagian besar negara bagian. Karena, anggaran dan cyberskill dari otoritas lokal akan menentukan apakah infrastruktur pemilu dari Illinois ke Florida akan aman pada November 2020.

Sementara kedua negara bagian tersebut, disebutkan dalam laporan penasihat khusus Robert Mueller sebagai target pemilihan yang dicampuri oleh peretas Rusia.

“Kami mengamankan pemilihan kami dengan sumber daya negara, tetapi ada kebutuhan federal. Ini adalah krisis nasional,” ujar  Pritzker.

Di sisi lain, para pakar keamanan pemilu, juga khawatir, bahwa serangan phising dari Rusia pada 2016 lalu, itu hanya praktik untuk upaya yang jauh lebih agresif.

Kekhawatiran terbesar adalah bahwa aktor asing dapat mengubah suara yang cukup untuk menggoyang pemilu.Tetapi, para ahli mengatakan itu hampir mustahil, karena mesin umumnya tidak terhubung ke internet dan suara dihitung dan diaudit di ribuan tempat pemungutan suara individu.

Kekhawatiran yang lebih masuk akal adalah, peretas akan ikut campur dengan data yang bergantung pada petugas pemungutan suara.

“Jika informasi pemilih diubah atau nama mereka dihapus dari daftar pendaftaran, hasilnya bisa berupa kemarahan dan kekacauan yang merusak legitimasi pemilu,” kata para pakar kemanan pemilu.