KPI: YouTube, Netflix cs Harus Berbadan Hukum di Indonesia
Jakarta, Cyberthreat.id - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengatakan siaran berbagi video seperti YouTube atau layanan over the top (OTT) Netflix cs sebaiknya harus memiliki kantor di Indonesia.
Dengan berbadan hukum, kata dia, KPI bisa memantau konten sebagaimana rencana KPI yang akan melakukannya lewat koordinasi dengan pemerintah.
"Jika berbadan hukum di Indonesia, maka kami bisa menjangkau mereka," Agung kepada Cyberthreat.id, Sabtu (10 Agustus 2019).
Wacana pemantauan konten YouTube, Netflix cs oleh KPI sedang menjadi pembicaraan hangat di ruang publik. Sebuah petisi online digagas seorang politisi wanita lalu menyebut dirinya sebagai Netizen berhasil mengumpulkan 48 ribu tanda tangan hingga Sabtu (10 Agustus 2019) pukul 18.00 WIB.
Agar YouTube, Netflix cs bisa berbadan hukum di Indonesia, Agung mengatakan KPI telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Status berbadan hukum, kata dia, akan membuka kemungkinan lain seperti pembangunan data center di Indonesia sehingga upaya hukum bisa lebih baik ke depan karena menyangkut bukti hukum yang berada di wilayah NKRI.
"Kami di KPI sering menerima pengaduan dari masyarakat dalam konteks media baru seperti YouTube, Netflix cs ini, terutama dari kalangan ibu-ibu, tetapi ketika ingin menindaklanjuti tidak bisa karena kantornya di Singapura. Bedanya, kalau televisi kami bisa langsung tindak dan beri sanksi," ujarnya.
Dari sudut pandang ekonomi digital, data center yang berada di wilayah NKRI cukup signifikan terutama untuk traffic. Sebagai contoh, pembelian bandwidth ke luar negeri mencapai Rp 43 triliun sehingga kalau di kelola dengan baik dan bijak bisa berdampak positif terhadap Indonesia.
Payung Hukum
Agung mengatakan pihaknya baru bisa melakukan pengawasan konten jika memiliki payung hukum. KPI, kata dia, menunggu Undang-undang Penyiaran yang baru disahkan. Selama ini payung hukum yang digunakan KPI adalah UU no 23 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Di dalam UU tersebut KPI memiliki kemampuan menjangkau media baru seperti YouTube, Netflix cs. Misalnya di dalam UU disebutkan kata "media lainnya" yang kalau diambil inspirasi UU Pers, maka itu bisa ditafsirkan sebagai media online/siber.
Kemudian Pasal 26 diatur mengenai layanan Pay TV (TV berbayar) dimana orang membayar untuk menikmati tontonan. Pay TV, kata Agung, beroperasi karena tiga hal yaitu satelit, kabel dan terestrial.
"Menurut pendapat hukum pasal ini masuk ke dalam kategori OTT seperti YouTube, Netflix, HBO TV dan lain-lainnya. Itu sebabnya televisi berlangganan juga diawasi KPI meskipun ada internet di dalamnya."
Staf Ahli Menteri Kominfo, Henri Subiakto, mengatakan kewenangan Kemkominfo selama ini yang menyensor, takedown atau menutup akun media sosial dilakukan berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Berbeda dengan KPI yang bertindak dengan UU Penyiaran, Henri mengatakan poin pembahasan kontroversi pengawasan digital KPI adalah perkembangan teknologi informasi. Kondisi sekarang, kata dia, jauh berbeda dengan dua dasawarsa lalu saat UU Penyiaran disahkan.
Ia mencontohkan UU no 32 tahun 2002 Pasal 1 ayat 2 menyatakan penyiaran itu melalui frekuensi lalu diterima secara serentak sehingga pengertiannya masih konvensional.
"Kalau dilihat dari bentuknya YouTube Netflix dan Pay TV termasuk penyiaran juga, tapi tidak melalui frekuensi dan tidak serentak, sementara UU ITE menyebutkan melalui internet."
"Intinya, ada teknologi baru yang tidak bisa masuk ke penyiaran, tapi dia melakukan penyiaran. Dan memang perkembangan teknologi itu luar biasa sementara kondisi harus mencocokkan."