Peneliti: RUU KKS dan RUU PDP Harus Segera Disahkan

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id – Indonesia saat ini berada di peringkat 41 secara global dalam Cybersecurity Index. Artinya masih banyak persoalan siber yang belum diselesaikan secara menyeluruh.

“Kebanyakan kasus siber di Indonesia diselesaikan secara bertahap dan tidak memiliki regulasi yang jelas. Kebanyakan diselesaikan dengan menggunakan UU ITE,” ujar Direktur The Institute For Digital Law and Society (Tordillas) Awaludin Marwan kepada Cyberthreat.id di Jakarta, Kamis (8 Agustus 2019).

Oleh karenanya, keberadaan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang saat ini masih digodok pemerintah adalah dua hal yang sangat penting untuk melindungi negara dan warganya.

“Keduanya harus segera diselesaikan,” kata dia.

Data Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT) menunjukkan, insiden kejahatan dunia maya yang terjadi di Indonesia pada tahun lalu begitu tinggi.

Serangan tersebut berupa pelanggaran hak kekayaan intelektual (65.381), spam (37.861), insiden jaringan (18.210), 9.855 kasus malware, dan 5.628 kasus phishing.

Melihat data tersebut, menurut Awaludin, dapat dianaslis bahwa insiden kejahatan dunia maya secara bebas terjadi di Indonesia. Terlebih saat ini pemerintah Indonesia sedang menggalakan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Maka, sistem keamanan siber (cybersecurity) di Indonesia adalah tantangan utama.

Awaludin menyoroti regulasi menyangkut keamanan siber yang menyeluruh. Sejauh ini pemerintah hanya mengandalkan UU ITE. Padahal, kata dia, sudah saatnya Indonesia membutuhkan sebuah regulasi khusus dalam mengamankan dunia maya.

“Di era digital ini, setidaknya tindakan perlindungan data serta peraturan keamanan siber harus ada untuk melindungi negara dan warganya,” ujar dia.

Hingga kini nasib kedua RUU tersebut belum menemui titik terang. RUU KKS yang didorong oleh DPR dalam program legislasi nasional tahun ini tampaknya masih jauh dari kata selesai.

Awalnya, target RUU tersebut bisa diketok sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang. Namun, masa transisi pergantian anggota DPR seperti saat ini juga tidak memungkinkan rapat-rapat dewan berlangsung optimal. Hal sama juga dialami dengan RUU PDP.

Redaktur: Andi Nugroho