Pada Masanya UKM akan Butuh Cybersecurity

Ilustrasi

Singapura, Cyberthreat.id - Perusahaan multinasional seperti British Airways dan raksasa Facebook selalu menjadi berita utama media massa ketika mendapat serangan cyber. Booming pemberitaan lebih besar jika para raksasa digital itu diharuskan membayar denda jutaan USD.

Ke depan, pola pemberitaan perusahaan raksasa dan multinasional terkait cybersecurity akan berubah seiring perkembangan zaman. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada waktunya akan menghadapi kerentanan di dunia digital.

Sayangnya, UKM selalu gagal melindungi jaringan mereka atau memikirkan dengan serius dalam membangun strategi dan rencana cybersecurity.

Survei terbaru dilansir Techwire Asia menyatakan sekitar 66 persen UKM tidak percaya bahwa mereka akan menjadi korban serangan cyber. Lebih parahnya, secara alami UKM tidak pernah bersiap untuk mengamankan jaringan infrastruktur digital atau keamanan data.

Hanya 9 persen responden dalam survei mengatakan bahwa cybersecurity adalah aspek terpenting dari bisnis mereka jika dibandingkan dengan rekrutmen karyawan, pemasaran, penjualan, kualitas alat internal, dan CSR.

Kemudian lebih dari 20 persen responden mengatakan keamanan siber adalah yang paling tidak penting.

Ketika ditanya tentang ancaman paling menonjol terhadap bisnis mereka, 21 persen UKM mengatakan bahwa tingkat keamanan siber berada di urutan terakhir setelah risiko resesi ekonomi, kerusakan reputasi dan gangguan pada model bisnis.

Keamanan di dunia maya adalah sesuatu yang masih dianggap enteng oleh UKM. Hanya sekitar 12 persen, menurut survei, memahami kenyataan bahwa serangan sangat mungkin terjadi, tidak peduli seberapa besar atau kecil perusahaan.

"Angka itu akan naik. Cepat atau lambat," kata Soumik Roy, editor dan Tech specialist dari Techwire Asia.

Para vendor, dengan harapan menumbuhkan bisnis mereka, akan melakukan segala upaya untuk mendidik UKM tentang perlunya langkah-langkah keamanan siber. Misalnya dengan solusi yang lebih cerdas menggandeng manajer IT dan pemilik bisnis untuk bisa melakukan implementasi dan pemeliharaan infrastruktur digital.

"Perubahan harus dilakukan sekarang," ujarnya.

Meniru Singapura

UKM perlu mendapatkan pengetahuan tentang pentingnya cybersecurity. Regulator/Pemerintah pasti mengetahui dan sedang berupaya menemukan cara tersebut. Misalnya memberikan insentif kepada bisnis digital untuk memastikan bahwa mereka melakukan semua yang dibutuhkan untuk mengamankan bisnis di dunia maya.

Namun, insentif saja tidak cukup karena regulator/Pemerintah mungkin perlu memperhatikan bahwa praktik cybersecurity yang buruk diikuti oleh banyak UKM sehingga membuat pelanggan mendapatkan risiko sekaligus dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada ekonomi.

"Salah satu cara untuk menghadapinya adalah dengan menegakkan aturan ketat seputar keamanan siber. Perlu undang-undang sebagai arahan."

Otoritas Moneter Singapura (MAS) baru-baru ini mengeluarkan pemberitahuan tentang Cyber ​​Hygiene yang memengaruhi bisnis yang beroperasi di industri layanan keuangan negara. Cyber Hygiene adalah semacam asupan informasi dan pengetahuan terkait keamanan siber untuk bisnis.

Bisnis seperti pialang saham dan perusahaan Fintech yang memenuhi syarat sebagai UKM perlu diberitahu dan diikat secara hukum. Memastikan pemilik dan pemimpin bisnis memiliki mindset bahwa kebutuhan keamanan siber sangat diperlukan serta berinvestasi dengan tepat sebelun terjadi serangan atau pelanggaran.

Apa yang dilakukan Singapura dalam industri jasa keuangannya bisa di contoh dan direplikasi oleh banyak negara, oleh agen, departemen, Kementerian dan instansi/lembaga. Intinya adalah bagaimana UKM perlu menyadari bahwa mereka rentan dan perlu melindungi diri mereka secara efektif di dunia maya.