Praktisi Hukum: Korban Fintech Makin Banyak

Ilustrasi

Jakarta, Cyberthreat.id - Praktisi hukum Mulkan Let Let sepakat jika negara menerbitkan regulasi yang mengatur ruang siber. Indonesia, kata dia, sudah masuk ke era teknologi global dimana semua kehidupan berbasis teknologi dan teknologi mempermudah kehidupan.

"Sekarang semua kegiatan masyarakat sangat bergantung dengan teknologi, pembayaran secara digital seperti pembelian barang, makanan dan segala hal lainnya semua berbasis aplikasi online, tapi dari kemajuan teknologi itu akan selalu ada yang menyalahgunakan dan kalau tidak hati-hati bisa saja ada ancaman lebih besar," kata Mulkan kepada Cyberthreat.id di Jakarta, Sabtu (3 Agustus 2019).

Pada Jumat (2 Agustus 2019) Kantor pengacara Mulkan Let Let and Partners melaporkan salah satu perusahaan Fintech atas kasus dugaan pencemaran nama baik serta ancaman dengan kekerasan melalui media elektronik.

Mulkan mengatakan modus yang digunakan oleh Fintech tersebut masih sama yakni mengulangi pelanggaran yang telah terjadi berulang kali sebelumnya. Ancaman dan teror terus dilakukan sementara secara teknis ada kemungkinan terjadi pencurian data.

"Modusnya sama ya. Yaitu di diblasting ke kerabat, keluarga bahkan kantor dan memang begitu semuanya. Korban terus bertambah semakin banyak dan kalau begini negara sebaiknya hadir. Nanti orang anggap apa Indonesia kalau aturan Pinjol aja seperti ini, sementara katanya mau masuk ke ekonomi digital," ujarnya.

Jejaring Luar Biasa

Berdasarkan penelusurannya, Mulkan Let-Let menemukan sekitar 50 Fintech yang beroperasi namun tidak memiliki izin dari OJK, dan setiap 1 fintech yang tidak memiliki izin biasanya akan mendapatkan kontak calon nasabah sebanyak 1000 kontak per hari. 

Kemudian dari 1000 kontak tersebut diberikan target kepada 4 analis/karyawan, 1 analis ditargetkan harus mendapatkan nasabah minimal 150 orang per hari.

"Jadi bisa dibayangkan jika 1 fintech sehari menargetkan nasabah 600 orang, maka dikali 50 fintech bisa mencapai 30.000 nasabah, dan 30.000 nasabah per hari ini kemungkinan menjadi korban pencemaran nama baik, pengancaman dan intimidasi dikemudian hari mungkin bisa saja terjadi."

Perusahaan Fintech tersebut memiliki jejaring luar biasa di Indonesia. Ada beberapa pemain yang orang Indonesia, tapi beberapa pemain merupakan orang asing dari luar negeri.

"Adapun beberapa orang asing itu mereka beroperasi di sini. Jadi mereka datang dengan visa kunjungan, mereka nyari lahan di Indonesia, pekerjakan orang Indonesia, yang nagih dan nawarin orang Indonesia," kata dia.

Ke depan, kata Mulkan, Indonesia memerlukan aturan khusus di dunia siber yang melindungi konsumen secara khusus dan rakyat Indonesia secara umum.

Di zaman teknologi, kata dia, pinjaman dilakukan secara online dan sejauh ini telah menimbulkan banyak masalah.

"Secara teknis dan secara hukumnya memang perlu aturan khusus. Khusus artinya yang mengatur yang online-online itu."