Menelusuri Sepak Terjang Fintech Ilegal
Potret Korban Pinjaman Online: Terancam hingga Bunuh Diri
Jakarta, Cyberthreat.id - Menjanjikan kemudahan mendapatkan pinjaman, namun membawa risiko menakutkan bagi peminjam, menjadi pemandangan yang kian sering menimpa banyak orang. Inilah yang kerap ditebar oleh beberapa aplikasi financial technology (fintech) ilegal.
Tak pelak, hingga Senin (29 Juli 2019), berita seputar fintech ilegal yang memakan korban masih mewarnai dunia pemberitaan di berbagai media.
Sebagai catatan, salah satu kabar paling menghebohkan terkait korban fintech ilegal tersebut adalah kejadian menimpa YI di Surakarta. Korban terpaksa harus meminta bantuan aparat kepolisian, Rabu (24 Juli 2019) lantaran terjerat masalah dengan salah satu fintech ilegal.
Tak hanya itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Solo Raya, pun harus ikut turun tangan memberikan pendampingan atas korban tersebut. Gede Sukadewana Putra sebagai kuasa hukum korban, bahkan menegaskan sikap akan membawa kasus ini hingga ke Polda Jawa Tengah, karena melihat ancaman terhadap korban sudah membahayakan.
"Ya, kalau perlu akan kami laporkan ke Polda Jawa Tengah," kata Gede, Kamis (25 Juli 2019). "Agar prosesnya lebih cepat."
Tak berhenti di situ, korban pun turut membawa kasus tersebut sampai kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Di samping, ia juga meminta bantuan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Sebagai catatan tambahan, pemicu kasus tersebut adalah saat korban berinisial YI terpaksa meminjam uang dari beberapa fintech hanya untuk dapat membayar pinjaman pada fintech sebelumnya.
Dari kasus tersebut, setidaknya tercatat empat fintech yang membuat korban terjerat masalah hingga terancam. Keempat fintech ini mencakup Incash, Cari Kartu, Kusaku, dan Kertas Flash.
Lazimnya fintech ilegal, korban tergiur karena tergiur dengan pesan singkat yang acap masuk ke ponsel miliknya. Ditambah lagi, karena syarat pun terbilang sangat mudah, "Hanya dengan foto dan KTP," kata YI.
Dari sanalah teror demi teror menimpanya. Tidak hanya sekadar caci maki, melainkan juga menjurus pada upaya mempermalukan korban, seperti hoaks yang mereka sebar dengan menyebut dirinya siap digilir demi membayar utangnya.
Menurut laporan, fintech ilegal yang menjadi pelaku tindakan yang menjurus pelecehan tersebut adalah Incash. Mereka membuat grup WhatsApp yang berisikan kontak yang berasal dari ponsel korban.
Tak pelak, korban yang merupakan pegawai marketing salah satu perusahaan garmen ini, merasa sangat dipermalukan. "Dia membuat grup WhatsApp yang berisi seluruh kontak di handphone saya dan menyebarkan hoaks itu," kata YI. "Di situ banyak klien saya."
Tentu saja ini bukanlah kasus pertama. Sebab, berdasarkan penelusuran Cyberthreat.id terdapat juga beberapa fintech ilegal lainnya yang pernah memakan korban. Sebut saja Apelbox dan Tiger Cash, menjadi bagian fintech yang pernah melakukan kegiatan rentenir digital dengan dalih fintech.
Pada Juni 2019, di Papua, seorang warga bernama Denny Renaldi Guswara (39), mengaku tertipu ketika hendak mengajukan pinjaman online. Denny kehilangan uang sebanyak Rp 10,5 juta di rekening miliknya.
Kasus Denny berawal dari pesan singkat dari sebuah nomor ponsel yang menawarkan pinjaman online dengan bunga 0,6 persen dari PT Bima Finance.
Tak ayal, Denny tergiur dengan tawaran tersebut, menghubungi nomor tersebut, dan membuka situs www.kreditcepatcair.com yang berisi syarat-syarat kredit cepat.
Tak hanya itu, melansir Kompas.com, Pemilik nomor WA mengarahkan Denny untuk mengurus internet banking di BRI dan mengunduh aplikasi AIRDROID dan akhirnya mendapatkan username dan password dari aplikasi tersebut.
Setelahnya, Denny kembali login ke situs www.kreditcepatcair.com, dan mendapat SMS banking yang menginformasikan uangnya diambil secara otomatis senilai Rp 10,5 juta tanpa adanya transaksi ke nomor rekening BCA 7935391776.
Kasus lain di Jakarta Selatan. Pada Februari lalu, seorang sopir taksi, Z (35), ditemukan tewas gantung diri di rumah kos di Jalan Prapatan VII, Tegal Parang, Jakarta Selatan.
Keputusan sopir tersebut untuk melakukan tindakan bunuh diri ditengarai juga lantaran terjerat masalah utang dengan rentenir digital berkedok pinjaman online.
Bahkan Z sempat menuliskan sepucuk surat yang berisi permohonannya kepada OJK dan pihak berwajib untuk memberantas pihak-pihak yang memberikan pinjaman online.
"Kepada OJK dan pihak berwajib tolong berantas pinjaman online yang telah membuat jebakan setan," tulis Z sebelum memutuskan untuk melakukan aksi gantung diri.
Maka itu, banyak pihak meminta pemerintah dan institusi terkait agar lebih serius menangani masalah ini. Ekonom Institute for Development if Economics Finance (Indef) Bhima Yudistira bahkan mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar sebaiknya menerapkan pengawasan dengan prinsip preventif atau pencegahan.
Bhima menegaskan bahwa dalam ketentuan POJK 77/POJK.01/2016 tentang Penyelenggaraan Jasa Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi, memang sudah ada regulasi soal kerahasiaan data. "Yang jadi masalah penyalahgunaan data dilakukan oleh fintech ilegal," kata Bhima, Minggu (28 Juli 2019).
Untuk itu, Bhima menilai agar kasus nasabah tersebut tidak terulang terutama dilakukan dengan fintech ilegal maka pengawasan harus preventif. Sebelum fintech ilegal memakan korban lebih banyak maka harus dicegah, dan langkah-langkah paling memungkinkan termasuk memblokir rekening dan aplikasi milik fintech bermasalah.
Di luar itu, menurut Bhima, OJK pun tampaknya harus menambah sumber daya manusia untuk pengawasan fintech. "Seiring semakin banyaknya perusahaan fintech di Indonesia maka membutuhkan SDM yang juga cukup banyak," Bhima menegaskan.
Tidak itu saja, Bhima bahkan meminta OJK juga memperkuat koordinasi dengan kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam pengawasan fintech. Ia menilai langkah tersebut memang sangat perlu dilakukan agar dapat memberikan sanksi yang lebih berat lagi bagi fintech yang melanggar aturan.
Terkait kasus YI, misalnya, OJK sendiri sejauh ini sudah memberikan peringatan kepada perusahaan fintech yang mengancam konsumen. OJK memastikan jika ada fintech yang melakukan penagihandengan cara yang tidak sesuai bisa terkena sanksi hingga pencabutan izin legalitas fintech tersebut.
Di sisi lain, peringatan tersebut cenderung hanya tertuju kepada perusahaan fintech yang telah memiliki legalitas, namun belum ada gambaran terkait keberadaan rentenir digital yang menyaru sebagai fintech.
Di luar itu, OJK juga memberikan imbauan agar masyarakat berhati-hati dalam menggunakan pinjaman online yang saat ini banyak ditawarkan melalui berbagai fintech.
"Edukasi mengenai pinjaman online perlu dilakukan berkelanjutan. Yang mudah itu belum tentu aman, pahami manfaat, biaya, dan risikonya," Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, mengingatkan. []