Pemerintah Bakal Atur Barang Impor di Bisnis Online

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id - Perdagangan online (e-commerce) disebut-sebut menjadi celah berbagai barang impor masuk ke Indonesia. Pemerintah pun tengah menyiapkan regulasi untuk membendungnya.

Pembatasan tersebut dinilai penting untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang seimbang antara barang lokal dan impor sekaligus menjaga daya saing industri dalam negeri.

Sekadar diketahui, ada pelebaran defisit neraca perdagangan (di mana impor lebih tinggi dari ekspor) sejak awal 2019 yang mencapai US$ 1,93 miliar.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi melihat kebijakan tersebut perlu digodok dengan matang untuk mengetahui dengan benar siapa yang diuntungkan atau malah dirugikan dari kebijakan tersebut. "Harus jelas alasan pemerintah keadilan ini versi siapa. Siapa yang kemudian diproteksi," ujar Fithra seperti dikutip dari Antaranews.com, yang diakses Minggu (28 Juli 2019).

Pemerintah, menurut Fithra, perlu meneliti produk-produk mana saja yang lebih banyak diimpor sebab, e-commerce sebagai platform tidak bisa melakukan impor barang secara langsung, melainkan pelapak yang melakukan impor.

Ketua Umum Indonesia E-Commerce Association (idEA) Ignatius Untung mengatakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu memperjelas rencana kebijakan barang impor yang dimaksud.

Dia menjelaskan barang impor terdiri dari dua macam. Pertama, barang impor lintas-negara, perdagangan dari luar negeri, di mana barang impor dibeli oleh konsumen dalam negeri melalui e-commerce. "Kalau ini yang, misalnya, diblokir sama sekali tidak akan mempengaruhi e-commerce, karena jumlahnya tidak sampai satu persen," ujar Untung.

Kedua, barang impor umum, yaitu barang impor produksi luar negeri, kebanyakan barang elektronik, seperti ponsel dan laptop. "Jumlahnya banyak, bukan cuma di online. Kalau ini diblokir, akan berdampak pada retail offline," kata Untung.

Untung mengatakan pemerintah sebaiknya mencari data yang menyeluruh tentang barang impor, tidak hanya secara makro.

Menurut dia, barang impor memiliki dua permasalahan yakni dari segi perdagangan dan dari segi manufaktur. Dalam hal manufaktur, pemerintah dapat berkoordinasi dengan pengusaha soal barang impor. "Barang yang diimpor yang tidak bisa dipenuhi oleh kita sendiri akan ada dampaknya, akan jadi embargo diri sendiri," ujar Untung.

Lapak daring
VP of Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak, menjelaskan pasar daring terdiri dari beberapa model bisnis. Ada yang lintas-negara atau cross-border, ada pula yang domestik.

Pasar daring lintas negara memfasilitasi transaksi antarnegara yang memungkinkan adanya impor di dalam platform, sedangkan pPasar daring domestik hanya beroperasi di satu negara, Tokopedia misalnya, hanya menerima penjual asal Indonesia dan memfasilitasi transaksi dari Indonesia untuk Indonesia.

"Karena model bisnis Tokopedia adalah marketplace domestik, yang tidak memungkinkan adanya impor di dalam platform, maka kami tidak memiliki data impor yang dimaksud. Yang bisa kami sampaikan adalah produk yang dijual di Tokopedia sudah berada di Indonesia," ujar Nuraini.

Jika produk yang dijual seperti handphone dan sebagainya, kata dia, produk tersebut sudah melalui proses bea cukai dari distributor dan dijual kembali oleh pedagang eceran.

Tokopedia memiliki lebih dari 6 juta pedagang kecil, yang dulunya terkonsentrasi seperti di Mangga Dua, Roxy, dan sekitarnya, kini juga berjualan daring di Tokopedia untuk menjangkau pasar yang lebih besar.

"Mereka adalah sesama WNI yang melakukan perdagangan secara jujur dan sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Nuraini.

Terkait transaksi lintas-negara tersebut, menurut Head of Legal and Compliance Blibli.com Yudhi Pramono, tidak hanya dilakukan oleh platform e-commerce dalam negeri tetapi juga e-commerce dari luar negeri. "Mungkin secara jumlah transaksi jauh lebih besar, di mana datanya pihak pemerintah pasti lebih mengetahuinya," ujar Yudi.

Namun, Yudhi mendukung rencana kebijakan tersebut. Dia berharap rencana kebijakan tersebut dapat menumbuhkan dunia usaha yang kompetitif. "Kami tentu saja akan mendukung kebijakan pemerintah. Kami yakini pemerintah membuat peraturan untuk menciptakan dunia usaha yang kompetitif, yang juga bisa menumbuhkan industri dalam negeri serta perlindungan konsumen," kata Yudhi.

Berdasarkan hasil penelitian perusahan riset independen Alvara Research Center bersama IDN Research Institute, yang dirilis awal Juli, aplikasi belanja yang paling diminati milenial adalah platform e-commerce asal luar negeri yaitu Lazada dengan 47,9 persen dan Shopee dengan 32,2 persen.

Selanjutnya, dua unicorn asal Indonesia Tokopedia dan Bukalapak berada di urutan ketiga dan keempat, masing-masing 15,4 persen dan 14,4 persen.

Perkembangan keempat e-commerce diproyeksikan akan terus berlanjut hingga 2020, melihat potensi e-commerce di Indonesia.

Menurut data Asosiasi E- Commerce Indonesia (idEA) potensi transaksi e-commerce di Indonesia terus meningkat dari 8 miliar di 2013 dolar AS menjadi 20 miliar dolar AS pada 2016, dan diproyeksi mencapai 130 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun pada 2020.

Rencana regulasi barang impor untuk e-commerce tersebut diharapkan tidak mematikan geliat konsumsi masyarakat yang kini kian tumbuh.