KONTEN KEKERASAN

Inggris Ajukan Undang-Undang Media Sosial

Foto: Freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id - Pemerintah Inggris tengah mengajukan ke parlemen undang-undang keamanan siber baru, khususnya terkait dengan media sosial.

Dalam usulannya, undang-undang ini bisa menjerat perusahaan media sosial dan teknologi jika mereka dinilai gagal melindungi penggunanya dari konten-konten berbahaya.

Seperti diberitakan CNBC, Senin (8/4/2019), latar belakang penyusunan aturan tersebut karena saat ini begitu mudahnya materi kekerasan di media sosial bisa diakses oleh anak-anak.

Apalagi menyusul kematian Molly Russel (14), remaja putri asal Inggris, setelah dirinya melihat konten di internet soal depresi dan bunuh diri.

Pemberlakukan ketat terhadap media sosial tidak hanya terjadi di Inggris. Di Asia Tenggara, Singapura dan Vietnam juga memperketat aturan media sosial, bahkan Pemerintah Thailand setelah mengesahkan Undang-Undang Keamanan Siber, bisa berlaku otoriter dan membatasi kebebasan berpendapat warganya.

Pekan lalu, Australia juga memberlakukan undang-undang tentang media sosial. Berdasarkan aturan baru, Pemerintah Australia akan mendenda perusahaan medsos dan web hosting sebesar 10 persen dari omset global tahunan perusahaan jika konten kekerasan tidak dihapus di platform online-nya dengan cepat.

Kekhawatiran atas media sosial di Australia dan Inggris tersebut dipicu oleh penembakan massal di dua masjid di Selandia Baru pada 15 Maret lalu.

Denda
Menurut CNBC, Pemerintah Inggris masih mempertimbangkan soal denda, pemblokiran situs web, dan membebani tanggung jawab kepada manajemen perusahaan.

TechUK, asosiasi perdagangan industri, mendukung rencana undang-undang tersebut. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah  bahwa kerangka kerja aturan baru itu haruslah efektif, proporsional, dan dapat diprediksi. Menurut TechUK, tidak semua masalah dapat diselesaikan melalui sebuah regulasi.

Menanggapi wacana regulasi itu, Facebook berharap dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan undang-undang lebih efektif.

Kepala Kebijakan Publik Facebook Inggris, Rebecca Stimson, mengatakan, setiap regulasi baru harus mencapai keseimbangan antara melindungi masyarakat dan mendukung inovasi serta kebebasan berpendapat.

"Ini masalah kompleks. Kami berharap dapat bekerja sama dengan pemerintah dan parlemen untuk memastikan peraturan baru berjalan efektif," tutur Stimson.

Perdana Menteri Inggris, Theresa May, mengatakan, meski internet begitu canggih menghubungkan orang satu dengan yang lainnya, hal itu tidak cukup untuk melindungi penggunanya, terutama anak-anak dan remaja.

"Sekarang saatnya untuk melakukan berbagai hal secara berbeda," kata May.

"Kami telah mendengarkan seruan dari kampanye dan para orangtua tentang perlunya memberikan tanggung jawab hukum kepada perusahaan internet untuk menjaga orang-orang tetap aman," ia menambahkan.

Sumber: CNBC