DUA TAHUN PASCA ISIS
Internet dan Sebuah Oase bagi Penduduk Mosul
Mosul, Cyberthreat.id - Sulit untuk mengarahkan kamera kepada orang-orang Mosul, sebuah kota terbesar kedua di Irak meski ISIS tak lagi berkuasa di wilayah itu.
Kota itu sejak 2014 menjadi wilayah perebutan antara kelompok Negara Islam (ISIS) dengan pemerintah setempat.
Pada Juli 2017, akhirnya Mosul berhasil direbut dari ISIS. Kemenangan pemerintah setempat disambut gembira, tapi hal itu belum cukup membuat kehidupan masyarakat di sana menjadi lebih baik. BBC melaporkan, di Mosul masih terjadi krisis air bersih, sekolah, makanan, dan rumah sakit.
Kota Tua di bagian barat Sungai Tigris, yang menjadi jantung dan jiwa Mosul, saat ini dalam kondisi hancur.
"Jalanan sebagian besar kosong, terlihat beberapa orang dan buldoser," tulis BBC.com, yang diakses Minggu (7/4/2019). Bangunan runtuh dipenuhi lubang-lubang peluru.
Fatima (34) menarik jilbab ke mukanya dan menarik anaknya yang masih kecil sebelum kamera diarahkan kepadanya. Ia enggan masuk "frame" kamera.
Benjamin Plackett, wartawan Endgaget, melaporkan, warga Mosul tak mau difoto. Mereka senang berbicara tanpa direkam. "Begitu perekam keluar, mereka menjadi gugup, dan menolaknya dengan baik," tulis dia dalam laporan bertajuk Burned alive for using a smartphone.
Menurut Benjamin, mereka takut jika sewaktu-waktu ISIS kembali lagi, kemungkinan masih ada sel-sel ISII yang bersembunyi, dan mereka bisa menjadi orang yang pertama dicari karena berbicara kepada wartawan tentang kebrutalan yang terjadi selama ini.
Fatima, kata Benjamin, menceritakan suatu kali ponsel keponakannya ditemukan oleh anggota ISIS. "Mereka mengikat keponakanku ke sebuah tiang, menuangkan bensin dan membakarnya," kata Fatima.
Sejak berkuasa pada 4 Juni 2014, ISIS mengambil alih kota dengan kejam. Mereka hanya butuh enam hari untuk menduduki kantor gubernur, mengendalikan jaringan televisi dan radio, dan bandara.
Beberapa pekan setelah itu, ISIS mematikan jaringan internet. ISIS ingin Mosul terisolasi dari dunia luar. Namun, itu tidak berhasil. Sebagian orang di Mosul ternyata terkoneksi dengan sinyal 3G melalui ponselnya ketimbang modem broadband di wilayah tertentu.
ISIS mencium kabar itu. Gerilya perampasan ponsel pun dilakukan dari pintu ke pintu rumah penduduk. Bagi yang ketahuan memiliki kartu SIM, televisi, dan satelit akan disita dan dihukum. ISIS pun menandai rumah-rumah mereka dengan cat semprot hijau.
"Selama bertahun-tahun saya merasa kami hidup mundur. Kami kembali ke Zaman Batu," kata Fatima.
Kisah sama dialami Ali, seorang mekanik usia 25 tahun. "Adikku dieksekusi karena memakai ponselnya," kata Ali. Adiknya tinggal di distrik Wadi Hajar dan ISIS selalu bergerilya di daerah ini tanpa peringatan awal.
Suatu hari mereka menemukan telepon dari rumah saudara Ali. Meski tidak ada kartu SIM, ISIS tetap mengeksekusinya. "Mereka mengikat saudaraku di tiang, tidak hanya dia, banyak orang. Mereka menembakinya," tutur Ali.
Selama ISIS berkuasa, sebagian besar Mosul hidup tanpa internet, mereka tidak tahu apa yang terjadi di luar kota. "Kami terisolasi dari dunia," kata Fatima.
Namun, kondisi itu berubah perlahan ketika internet kembali hidup. Orang-orang masih ingat ketika pertama kali bisa online. Sebagian besar penduduk mengontak kerabat-kerabatnya yang lama tak terdengar kabarnya.
"Saya sangat senang ketika memeriksa Facebook lagi dan berkomunikasi dengan teman-teman saya," kata Ali.
Fatima juga gembira kembali bisa bermain media sosial. Ia mulai menambahkan orang-orang secara acak yang belum pernah dia kenal saking antusiasimenya bisa terkoneksi dengan dunia luar.
Facebook menjadi salah satu medsos paling populer di Timur Tengah. Platform ini sering menjadi yang pertama dikunjungi orang untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Yang paling mengesankan Fatima adalah ketika dirinya bisa berbelanja online kembali. "Saya terkejut bahwa saya bisa memesan sesuatu secara online dan itu sampai ke rumah saya. Ini tak pernah terjadi sebelumnya di Mosul sebelum terjadi invasi," kata dia.
Namun, internet dengan segala aktivitas dan hambatannya, juga belum bisa menghilangkan rasa takut pengguna di Mosul. "Kami sangat takut bangun suatu hari nanti dan mendapati mereka kembali," kata Fatima.