Facebook dan Google Awasi Pengunjung Situs Porno, Kok Bisa?

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Kamu yakin dalam kondisi aman saat ini?

Jangan senang dulu. Kabar terbaru, Google dan Facebook mengawasi kamu sampai ke sisi yang privat, bahkan ketika kamu berselancar di situs-situs porno.

Charlie Warzel, penulis senior teknologi di BuzzFeed yang kini bekerja di New York Times, pada 17 Juli 2019, menulis bahwa kedua perusahaan itu mencatat detail penjelajahan pengguna ketika berselancar di situs-situs porno meski kamu telah memakai mode incognito (penyamaran) pada browser.

Warzel yang mengutip sebuah makalah New Media & Society, menyebutkan, bahwa tiga peneliti telah meriset 22.484 situs porno. Hasilnya, 93 persen data pengguna bocor ke pihak ketiga.

Penelitian itu dilakukan oleh yang dilakukan Elena Maris (dari Microsoft Research), Timothy Libert (Carnegie Mellon University), dan Jennifer Henrichsen (University of Pennsylvania). Judul risetnya: Tracking sex: The implications of widespread sexual data leakage and tracking on porn websites. (bentuk PDF)

"Data tersebut menyajikan risiko yang unik karena 45 persen URL situs porno menunjukkan sifat konten, yang berpotensi mengungkapkan preferensi seksual seseorang," tulis Charlie.

Menurut Charlie, para penulis menggunakan webXray, perangkat lunak sumber terbuka, untuk mendeteksi dan mencocokkan data pihak ketiga untuk memindai situs. Sebagian besar informasi itu (79 persen situs web mentransmisikan data pengguna) dikirim melalui cookie pelacakan dari perusahaan luar.

"Pengguna yang sering dilacak melalui cookie, yaitu potongan teks yang diunduh oleh web browser Anda ketika Anda mengunjungi sebuah situs. Kali lain, pelacak datang dalam bentuk piksel tertanam yang tidak terlihat di layar Anda," tulis Charlie.

Pelacak tersebut membantu situs mengidentifikasi dan mengklasifikasikan pengunjung yang kembali lagi. "Pelacak dapat merekam preferensi Anda dan mengelola profil iklan Anda," jelas Charlie.

Riset itu juga menemukan bahwa Google (atau salah satu anak perusahaannya seperti platform iklan DoubleClik) memiliki pelacak di 74 persen situs porno.

"Pelacak dari perusahaan perangkat lunak Oracle muncul di 24 persen situs, dan Facebook, yang tidak mengizinkan konten pornografi atau ketelanjangan pada platformnya juga memiliki pelacak 10 persen di situs web seks yang dipindai peneliti," tulis Charlie.

"Mekanisme untuk pelacakan situs dewasa sangat mirip dengan, katakanlah, ritel online: ini harus menjadi tanda bahaya besar," kata  Maris.

"Tapi, ... ini jauh lebih spesifik dan sangat pribadi," ia menambahkan.

Mengapa ada pelacak?

Charlie lalu menjelaskan analogi yang serupa dilakukan The New York Times yang menerapkan kode khusus di situs webnya, sebagai praktik standar dalam industri penerbitan.

"NYT menanamkan pelacak yang sama dan mengumpulkan, menggunakan, dan membagikan data tentang pembaca sebagai bagian dari praktik bisnisnya,” tutur dia.

“Beberapa pelacak, seperti Google Analytics, memberikan data lalu lintas biasa ke situs. DoubleClick dan lainnya menyediakan infrastruktur untuk menjalankan iklan," ia menjelaskan.

Sebagai gantinya, kata Charlie, perusahaan pihak ketiga ini menerima data dari pengunjung situs web. Pengiklan dan platform berpendapat bahwa data ini anonim. Data lain yang bisa didapat oleh mereka seperti jenis perangkat, alamat internet protocol/IP, atau nomor identifikasi iklan ponsel Anda.

Namun, apa yang mungkin dilakukan perusahaan-perusahaan ini dengan data penjelajahan situs-pornografi adalah sebuah misteri, tulis Charlie.

Oracle, yang memiliki sejumlah broker data besar dan dijuluki sebagai "bintang kematian privasi," bisa saja melakukan itu karena, misalnya, demi menambahkan data yang dikumpulkan oleh pelacak.

Sementara Google dan Facebook, yang selalu mengkampanyekan dan menolak konten seksual porno pada platform mereka, sangat aneh mengumpulkan informasi sensitif seperti itu, bahkan jika itu dilakukan secara tidak sengaja.

Facebook dan Google Membantah

Facebook dan Google menyangkal bahwa informasi potensial yang dikumpulkan oleh pelacak mereka di situs web pornografi digunakan untuk membuat profil pemasaran yang dimaksudkan untuk beriklan kepada individu.

"Kami tidak mengizinkan iklan Google di situs web dengan konten dewasa dan kami melarang iklan yang dipersonalisasi dan profil iklan berdasarkan minat seksual pengguna atau aktivitas terkait online," tulis juru bicara Google dalam sebuah pernyataan.

"Selain itu, tag untuk layanan iklan kami tidak pernah diizinkan untuk mengirimkan informasi yang dapat diidentifikasi secara pribadi ke Google."

Para peneliti menemukan bahwa pengunjung ke sebagian besar situs seks hampir tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah sebuah perusahaan teknologi besar memiliki cookie atau pelacak yang tertanam di situsnya, dan mereka dapat menemukan kebijakan privasi.

Maris berpendapat bahwa kurangnya pengungkapan sistem pelacak ini mirip dengan masalah persetujuan seksual. "Seperti dalam interaksi seksual apa pun, diam tidak boleh disalahartikan sebagai persetujuan," kata dia.