Ini Jumlah Fintech P2P Lending yang Terdaftar di OJK
Jakarta,Cyberthreat.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, saat ini sebanyak 119 perusahaan (Financial Technology/Fintech) yang melayani pemberian pinjaman dari pengguna ke pengguna atau peer to peer (P2P) lending yang sudah terdaftar di OJK.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 113 perusahaan fintech lending konvensional dan enam perusahaan fintech lending syariah.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pihaknya mewajibkan perusahaan teknologi finansial P2P Lending supaya memprioritaskan aspek perlindungan konsumen.
Untuk itu, OJK telah menerbitkan berbagai peraturan, di antaranya Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK 01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
"OJK terus melakukan edukasi dan literasi supaya masyarakat tidak terlena oleh fintech ilegal yang tidak terdaftar OJK. Jadi, pilihlah fintech yang terdaftar, kenyataannya sekarang ada 119 fintech lending yang terdaftar," ujar Wimboh pada seminar OJK Watch bertema Mencari Format Fintech yang Ramah Konsumen di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (16 Juli 2019).
Berdasarkan data OJK, per Mei 2019, akumulasi pinjaman yang disalurkan 113 perusahaan fintech lending konvensional mencapai Rp 41,04 triliun, melonjak 81% (year to date/ytd).
Sedangkan pinjaman yang disalurkan enam perusahaan fintech lending syariah mencapai Rp 8,32 triliun (outstanding), naik 65% (ytd).
Pinjaman tersebut disalurkan kepada 8,75 juta peminjam, meningkat 100,72% (ytd). Adapun investor yang memberikan pinjaman tercatat 480.300 lender, naik 131,44% (ytd).
Wimboh menjelaskan, guna mengoptimalkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan fintech dan melindungi konsumen, OJK memberlakukan pengawasan berbasis market conduct.
“OJK juga mewajibkan perusahaan fintech lending menjadi anggota asosiasi yang telah memiliki code of conduct,” tutur Wimboh.
Selain itu, kata Wimboh, akses aplikasi fintech lending dibatasi. Hanya mikrofon, lokasi, dan kamera untuk keperluan e-KYC (know your customer secara online) yang boleh digunakan.
“Fintech lending juga wajib melaporkan rate pinjaman dan deliquency rate. Kami pun akan mengembangkan pusat data fintech lending (pusdafil),” ungkap Wimboh.
Tantangan
Wimboh menambhakan, untuk memberantas fintech ilegal, OJK mewajibkan perusahaan fintech mengikuti kaidah-kaidah yang digariskan otoritas.
“Misalnya memberikan perlindungan yang memadai kepada konsumen, mengutamakan transparansi, tidak abuse, dan tidak menzalimi nasabah. Bisnis yang dioperasikannya pun bukan bisnis jangka pendek atau sekadar hit and run,” tandas Wimboh.
Salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan fintech lending, menurut Wimboh, adalah kesinambungan bisnis (continuity business).
Artinya, perusahaan fintech lending harus bisa bertahan dalam jangka panjang. Risiko lain di antaranya praktik yang berkaitan dengan antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU PPT) serta kejahatan siber (cyber crime),” ujar dia.
“Tantangan lainnya adalah produk fintech yang borderless dan data privacy, produk jasa keuangan konvensional yang disediakan perusahaan nonjasa keuangan, serta aspek perlindungan konsumen,” ungkap Wimboh.
Wimboh juga menegaskan, perusahaan fintech lending tidak boleh memberikan suku bunga (pricing) yang terlalu tinggi, seperti rentenir. Untuk itu, mereka wajib menyampaikan informasi secara transparan tentang suku bunga pinjaman kepada calon debitur.