KONTEN KEKERASAN

UU Australia Ancam Penjarakan Bos Perusahaan Teknologi

Ilustrasi. FREEPIK.COM

Jakarta, Cyberthreat.id - Parlemen Australia baru saja mengesahkan undang-undang terkait dengan media sosial (medsos), Kamis (4/4/2019).

Berdasarkan aturan baru itu, pemerintah Australia akan mendenda perusahaan medsos dan web hosting sebesar 10 persen dari omset global tahunan perusahaan jika konten kekerasan tidak dihapus di platform online-nya dengan cepat.

Tak hanya denda, pemerintah juga bisa menyeret para pemimpin perusahaan dengan hukuman selama tiga tahun penjara.

Seperti dilaporkan Reuters.com, undang-undang baru itu merespons serangan brutal ke dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019. Serangan itu mengakibatkan 50 orang tewas saat mereka menghadiri shalat Jumat.

Video penembakan itu disiarkan secara langsung oleh pelaku, yaitu Brenton Tarrant (28), warga Australia. Polisi Selandia Baru, Kamis (28/3/2019), mengatakan, Tarrant akan menghadapi 50 dakwaan pembunuhan dan 39 percobaan pembunuhan di pengadilan, Jumat (5/4/2019).

Dengan adanya undang-undang baru, seluruh perusahaan di Australian, termasuk Facebook Inc dan Google Alphabet, pemilik YouTube, akan dinyatakan melanggar hukum jika tidak segera menghapus video atau foto kekerasan atau pemerkosaan di platform-nya.

Perusahaan juga untuk diminta aktif melaporkan kepada kepolisian. "Adalah penting bagi kami membuat pernyataan sangat jelas kepada perusahaan medsos, bahwa kami berharap perilaku mereka berubah," ujar Menteri Komunikasi dan Seni Australia, Mitch Fifiedl, kepada pers di Canberra.

Menanggapi hal itu, juru bicara Google mengatakan, sebetulnya telah berkomitmen terkait dengan konten kekerasan tersebut. "Kami tidak menoleransi terhadap konten teroris di platform kami," kata dia melalui email.

"Kami berkomitmen mengembangkan teknologi dan standar baru untuk mengidentifikasi dan menghapus konten teroris"

Sementara, Digital Industry Group Inc (DIGI) menilai undang-undang tersebut gagal memahami kompleksitas untuk menghapus konten kekerasan.

"Dengan volume besar konten yang diunggah ke internet setiap detik, ini adalah masalah yang sangat kompleks," kata Direktur Pelaksana DIGI Sunita Bose. Anggota DIGI di dalamnya, termasuk Facebook, Apple, Google, Amazon, dan Twitter.

Menurut Reuters, oposisi Australia, Partai Buruh, juga telah mendukung undang-undang tersebut. Namun, partai masih akan berkonsultasi dengan perusahaan-perusahaan teknologi mengenai kemungkinan amandemen jika menang pemilu pada Mei mendatang.

Sumber: Reuters