Kementerian Kominfo Siapkan Kedaulatan Digital Melalui Pembangunan Hulu ke Hilir

Menteri Kominfo Johnny G. Plate

Cyberthreat.id – Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, mengungkapkan bahwa pihaknya mendorong pengembangan kapasitas dan kesiapan Indonesia sebagai digital nation untuk mempersiapkan Indonesia memasuki era kedaulatan digital.

“Sekarang kita masuk ke era kedaulatan digital. Selain manfaat-manfaat ruang digital dari sisi ekonomi, tetapi dia berkaitan juga dengan sovereignty dan geostrategis, sehingga kita harus meletakkannya dengan benar,” kata Johnny dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (13/7).

Menurutnya, dalam mempersiapkan era kedaulatan digital di Indonesia, diperlukan upaya transformasi digital yang dilakukan secara inklusif. Selain itu, tranformasi digital ini harus menjangkau kepada seluruh rakyat dan ke seluruh wilayah di Indonesia.

“Presiden sendiri memberikan directive yang sangat jelas bahwa di era transformasi digital ini kita harus memastikan no one shall be left behind,” kata Jhonny.

Di sektor hulu, pembangunan infrastruktur digital dilakukan di tiga lapisan, yaitu di lapisan backbone, middle-mile, dan last-mile. Lapisan backbone atau tulang punggung konektivitas di Indonesia adalah melalui jaringan fiber optic. Hingga ini, jaringan fiber optic di Indonesia telah digelar hingga lebih dari 459.000 kilometer, terdiri dari jaringan inland (darat) dan subsea (bawah laut). 

Penggelaran di lapisan backbone juga terus dioptimalkan dengan menyambungkan titik-titik fiber optic melalui Palapa Ring yang telah tergelar sepanjang lebih dari 12.400 kilometer. Selain itu, titik-titik fiber optic yang masih belum terhubung juga akan disambungkan melalui Palapa Ring Integrasi sepanjang lebih dari 12.100 kilometer.

“Kita perlu menggelar tambahan untuk menghubungkan titik-titik yang belum terhubung. Kita bangun Palapa Ring Integrasi melalui program public-private-partnership,” kata dia.

Namun, tidak semua wilayah nasional dapat dihubungkan dengan fiber optic, dan oleh karenanya, pembangunan di lapisan middle-mile perlu dilakukan. Menurutnya, ada wilayah-wilayah yang sama sekali tidak bisa terhubung karena tantangan geografi, tantangan topografi, tantangan logistik, dan lain sebagainya, sehingga harus membangun yang disebut dengan microwave-link dan fiber-link.

Johnny mengatakan, Penguatan lapisan middle-mile juga dilakukan melalui utilisasi satelit sebagai salah satu sarana konektivitas. Saat ini, di dalam pipeline kita, telah ada dua high-throughput satellite yang sedang diproduksi dengan kapasitas 2x150 Gbps Satelit Geostasioner (GEO) atau enam kali kapasitas 9 satelit yang ada, yaitu 300 Gbps. Kedua satelit tersebut adalah satelit SATRIA-I dan Hot Back-up Satellite yang akan menjangkau 150.000 titik layanan publik yang belum terkoneksi internet di Indonesia. “Dari proyeksi peta jalan satelit, kita membutuhkan setidaknya satu terabyte per second (Tbps) kapasitas satelit sampai tahun 2030,” kata dia.

Di lapisan last-mile, telah dibangun sekitar 500.000 Base Transceiver Station (BTS) di Indonesia. Namun, jumlah tersebut belum cukup untuk menghadirkan jaringan 4G di seluruh 83.218 desa dan kelurahan di Indonesia. Masih ada sekitar 12.548 desa dan kelurahan di wilayah 3T dan di wilayah komersial, bahkan di ibukota negara yang masih blankspot

Sementara itu, pembangunan infrastruktur digital juga terus dilakukan di infrastruktur digital sektor hilir, termasuk melalui pembangunan Pusat Data Nasional (PDN). Konsumsi data per kapita di Indonesia saat ini setara dengan 1 watt per kapita, sedangkan konsumsi pusat data negara lain dapat mencapai 100 watt per kapita.

“Untuk meningkatkan dari 1 watt ke 10 watt per kapita, kita butuh sekitar 3 gigawatt listrik,” kata dia.

Johnny menyebutkan, terkait inefisiensi penggunaan Pusat Data, di mana Pemerintah (Pusat dan Daerah) saat ini menggunakan sekitar 2.700 Pusat Data dan hanya 3% Pusat Data Pemerintah yang berbasis cloud, dan sisanya merupakan server dan ethernet yang bekerja sendiri-sendiri. 

“Sangat sulit untuk interoperabilitas data untuk menghasilkan satu data yang akan menjadi basis implementasi data-driven policy di Indonesia,” sebut Johnny.

Saat ini, untuk mendukung pemerintahan digital, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menggunakan sekitar 24.400 aplikasi berbeda beda. Johnny menegaskan bahwa indonesia harus menata ulang dan mengembangkan aplikasi super (super apps) Indonesia yang terintegrasi untuk semakin mengefisienkan dan memudahkan layanan publik. 

“Ini sedang kita siapkan dalam roadmap Kominfo, dari 24.400 aplikasi, kita pelan-pelan mulai lakukan shutdown atau tutup dan pindah pelan-pelan,” kata dia.

Johnny menambahkan, untuk pembangunan dan pemerataan infrastruktur hilir, Pemerintah merencanakan untuk membangun 4 Pusat Data Nasional (PDN) berbasis cloud. Pusat data akan dibangun di Jakarta, Batam, Labuan Bajo, dan di Ibu Kota Negara baru Nusantara.

Pembangunan pusat data tersebut didasarkan pada tiga basis utama. Pertama adalah tersedianya kapasitas power supply yang memadai, kedua harus tersedia fiber optic network yang memadai, dan ketiga harus tersedia cooling water system.