TikTok Tangguhkan Live Streaming dan Konten Baru di Rusia
Cyberthreat.id – Tiktok, platform video pendek asal China, menangguhkan fitur live streaming dan konten baru ke layanan videonya untuk pengguna di Rusia karena alasan undang-undang “berita palsu” di negara tersebut.
Namun, “Layanan perpesanan dalam aplikasi kami tidak akan terpengaruh. Kami akan terus mengevaluasi keadaan yang berkembang di Rusia untuk menentukan kapan kami dapat melanjutkan layanan kami sepenuhnya dengan keselamatan sebagai prioritas utama kami,” ujar perusahaan dalam pernyataan yang diperbarui di halaman Newsroom TikTok, Minggu (6 Maret 2022).
Undang-undang “berita palsu” itu baru disetujui oleh majelis rendah parlemen Rusia pada Jumat lalu itu. Isinya ancaman hukuman penjara bagi siapa saja yang menerbitkan konten yang dianggap pemerintah Rusia sebagai informasi palsu tentang invasi Rusia ke Ukraina, tulis TechCrunch.
Selain ancaman 15 tahun penjara, undang-undang juga mencantumkan denda 1,5 juta rubel atau sekitar US$14.000.
Pada 24 Februari lalu, Rusia mulai melancarkan serangan fisik ke sejumlah kota Ukraina. Tindakan tersebut disebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai “operasi khusus militer” dan “misi menjaga perdamaian”.
Oleh karenanya, media atau siapa saja yang tak sejalan dengan penyebutan pemerintah Rusia bisa berisiko.
Bahkan, menurut laporan kelompok hak asasi OVD-Info, lebih dari 4.300 orang ditangkap lantaran melakukan protes anti-perang di 53 kota di Rusia pada Minggu (6 Maret). Di Moskow, sebanyak 1.700 orang ditangkap, tulis kantor berita lokal Rusia, RIA, dikutip dari BBC News.
Dalam 11 hari terakhir, lebih dari 10.000 orang ditangkap karena protes anti-perang, kata OVD-Info.
Alexei Navalny, kritikus Vladimir Putin paling keras, dari balik penjara menyerukan demonstrasi harian untuk melawan invasi.
Pekan lalu, badan pengawas telekomunikasi Rusia, Roskomnadzor, memblokir Facebook sebagai respons atas tindakan perusahaan membatasi akses ke akun media Rusia, seperti RT, RIA, dan Sputnik.
Kebijakan akun media pemerintah
Selama beberapa bulan terakhir, TikTok mengatakan telah melibatkan lebih dari 50 pakar dari berbagai latar belakang di 20 negara untuk “mendefinisikan tentang media yang dikendalikan negara, di mana pemerintahnya mengontrol langsung atau tidak langsung atas konten editorioal atau pengambilan keputusan mereka”.
Langkah tersebut menyusul TikTok sedang mengembangkan kebijakan media pemerintah yang menggunakan platformnya.
Menanggapi perang di Ukraina, TikTok mengatakan, mempercepat peluncuran kebijakan media pemerintah untuk mengevaluasi konten platformnya.
“Kami akan menguji coba kebijakan kami dengan menerapkan label pada konten dari beberapa akun media yang dikontrol pemerintah dalam beberapa hari mendatang,” ujar TikTok.
Secara lebih luas, kebijakan tersebut akan diterbitkan perusahaan akhir tahun ini.
TikTok juga menyadari bahwa terjadi peningkatan risiko dan dampak dari informasi menyesatkan selama masa perang.
Untuk memerangi disinformasi, perusahaan menggunakan kombinasi teknologi dan manusia untuk melindungi platform dari konten menyesatkan. Tim TikTok juga menguasai lebih dari 60 bahasa dan dialek termasuk Rusia dan Ukraina.
“Pedoman Komunitas kami melarang konten yang berisi misinformasi yang berbahaya, perilaku kebencian, atau promosi kekerasan, dan tindakan kami untuk menegakkan kebijakan ini termasuk menghapus konten yang melanggar, memblokir akun, dan menangguhkan akses ke fitur produk seperti live streaming,” ujar perusahaan.
Mereka juga bermitra dengan organisasi pemeriksa fakta independen untuk membantu “menilai keakuratan konten sehingga pelanggaran dapat dihapus.” []