Menilik Kamp Pecandu Internet di Korea Selatan
Seoul, Cyberthreat.id – Ia biasa dipanggil Hawon. Usianya 17 tahun. Kini ia masuk di sebuah kamp khusus bernama Muju, sebuah daerah di Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan.
Daerah itu terkenal dengan Muju Firefly Festival, sebuah atraksi “api terbang” yang selalu memikat banyak turis.
Hawon, satu dari 10 gadis yang berada di kamp di Muju yang mengalami kecanduan internet. “Saya menonton YouTube setiap hari, kadang-kadang selama 18 jam," kata dia seperti dikutip dari BBC.
"Aku membawa ponsel ke kamar mandi. Atau saat aku makan, aku akan memegangnya. Dalam pikiranku, aku seperti 'Aku hanya akan menontonnya selama satu jam', tapi kemudian berbunyi terus dan terus. Sulit untuk berhenti," ia menuturkan.
Korsel adalah negara yang paling tinggi koneksi internetnya di dunia. Hampir setiap orang memiliki smartphone dan akses ke internet.
Namun, di situlah masalah terjadi. Menurut laporan BBC, pada tahun lalu lebih dari 140 ribu anak muda mengalami candu internet. Sebagian kalangan malah menilai jumlah tersebut bisa jauh lebih tinggi lagi.
“Akibatnya ada pusat-pusat perawatan bagi remaja di Korsel karena kecanduan itu dan membantu menyembuhkan mereka untuk kembali offline,” tulis BBC.
Sekolah-sekolah di Korsel pun bergerak “melawan” fenomena kecanduan itu. Program-program khusus dicetuskan demi mencegah anak-anak dari kecanduan.
Kecanduan Internet
Secara bahasa, candu adalah sesuau yang menjadi kegemaran, sedangkan kecanduan adalah ketagihan akan sesuatu hingga menjadi ketergantungan.
Memiliki kecanduan internet artinya ketika seseorang ketagihan akan internet dan tidak lagi bisa mengendalikan diri terhadap perilaku mengakses internet.
Efek kecanduan bisa membahayakan diri baik pada kesehatan mental maupun fisik seseorang.
Menyangkut candu internet, “Ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia nyata,” tulis BBC.
Selain itu, orang-orang tersebut juga dapat kehilangan waktu dan mengabaikan kebutuhan dasar mereka, seperti makan atau tidur.
Seperti kecanduan lainnya, seseorang yang candu internet akan merasa sedih atau marah jika tak bersentuhan dengan internet.
Kamp pecandu
Hawon dan kawan-kawan berada di kamp atau tempat terapi mendapat bantuan untuk bisa lepas dari candu internet. Mereka diajari sejumlah perihal agar bisa mandiri dari dunia online dan mengubah perasaan mereka ketika sedang online.
Sejak 2014, lebih dari 1.200 remaja telah berada di kamp tersebut. Di kamp itu aturannya sungguh ketat. Telepon tidak boleh ada sama sekali. Begitu mereka tiba di gerbang kamp, mereka harus menyerahkan semua barang-barang elektroniknya, bahkan termasuk pelurus rambut.
Kamp itu fokus membantu para remaja untuk merasa lebih baik dengan menjauhkan diri dari ponselnya. Selama di kamp, mereka mendapatkan pelatihan seperti kerajinan, olahraga, gim, dan kegiatan lain yang didesain untuk membuat para remaja bisa keluar dari keranjingan dunia digital dan kembali ke dunia nyata.
“Ide dasarnya adalah membuat mereka menemukan cara lain untuk merasa bahagia dan santai, alih-alih mendapatkan rasa suka dan tenang itu dari online,” tulis BBC.
Selain aktivitas fisik itu, mereka juga diberi konseling tentang masalah yang dimiliki. Mereka akan diberi tahu kapan berhenti bermain ponsel dan mengubah sikap serta cara pandang mereka terhadap ponselnya.
“Di sini kami mencoba memberi mereka alternatif dari internet, video game, dan media sosial,” kata Manajer Kamp Pencandu Internet, Yong-chul Shim.
“Ketika kami menjalankan kamp ini, kami mencoba banyak kegiatan berbeda untuk menunjukkan kepada para remaja bahwa mereka dapat memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang lebih besar di luar dunia maya,” ia menuturkan.
Kehidupan di Korsel
Menurut Hawon, kehidupan di Korsel bisa sangat menegangkan, terutama karena para remaja diharapkan belajar sangat keras di sekolah.
Jadi, kat adia, banyak orang Korea menggunakan ponsel pintarnya untuk menghilangkan stres. Hawon sendiri menjelaskan bagaimana dia menonton video YouTube untuk membuat dirinya merasa lebih bahagia. Dan, akhirnya itu berdampak buruk bagi hidupnya.
"Itu memengaruhi pelajaran sekolahku dan ketika teman-teman kami bertemu, kami hanya berbicara di telepon dan tidak berbicara satu sama lain. Aku tertidur di sekolah. Aku akan marah pada orang tanpa alasan,” kata Hawon.
Dengan kejadian itu, ia mulai sadar bahwa ada yang salah dengan dirinya. Ia lalu memutuskan diri pergi ke kamp.
"Saya ingin mengatasi kecanduan itu–untuk melihat sekeliling di sekitar saya dan bukan hanya telepon. Ini adalah kesempatan bagiku untuk memperbaiki masalah," kata Hawon.
Kamp itu biasanya berlangsung selama sebulan, tergantung pada keseriusan kecanduan mereka.
Petugas kamp Tae-joon Kim menjelaskan sejumlah remaja yang datang ke kamp benar-benar cemas ketika alat mereka diambil. Bahkan, tak sedikit dari mereka mengatakan ingin pulang.
"Dari saat mereka menyerahkan telepon, mereka mulai mengalami kesulitan," kata Kim.
Seiring berlalunya waktu, Hawon dkk terbiasa hidup tanpa alatnya.
Hawon merasa berharap bahwa saat meninggalkan kamp akan dapat mengurangi jumlah waktu yang dihabiskannya menonton YouTube.
Satu mimpinya: jauh dari layar dan lebih dekat dengan keluarganya.