Siapa Boleh Melabeli Hoaks sebuah Informasi?

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Siapa saja boleh menjadi pemeriksa fakta sebuah informasi yang beredar di masyarakat. Namun, memberi label hoaks terhadap suatu informasi harus dilakukan oleh lembaga yang kredibel dan tidak boleh sembarangan.

“Tidak boleh serampangan, apalagi dari pers—tidak boleh. Harus [lembaga] yang kredibel karena dampaknya [pemberian label hoaks, red] akan luas,” ujar Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Anthonius Malau dalam diskusi virtual “Menggugat Monopoli Kebenaran dalam Stempel Hoaks: Siapa yang Berhak Memeriksa Fakta?

Diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangkaian Indonesia Fact-Checking Summit 2021 yang diinisiasi oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Kamis (16 Desember 2021).

Malau mengatakan, selama ini Kominfo dalam melabeli suatu informasi sebagai hoaks, disinformasi, atau misinformasi berdasarkan tiga langkah. Tujuan melakukan pelabelan itu “untuk memudahkan masyarakat mengenali informasi.”

Pertama-tama, Kominfo akan melakukan internet throttling atau pelambatan akses. Selanjutnya memverifikasi terhadap aduan yang dibuat masyarakat. Verifikasi ini, kata Malau, dilakukan terhadap instansi yang berwenang.

Kedua, mengecek pendapat atau komentar pejabat terkait di situs web atau kanal media sosialnya. “Itu kami ambil untuk meng-counter terhadap informasi dan kemudian memberikan stempel hoaks,” ujarnya.

Dan, ketiga, pengecekan informasi melalui media massa utama yang telah terdaftar di Dewan Pers, bukan media abal-abal. “Ini kami jadikan sumber untuk mengatakan informasi hoaks. Jadi, tiga hal itu yang kami ambil untuk melabeli informasi merupakan berita hoaks,” Malau menjelaskan.

Setelah melakukan stempel hoaks, Malau mengatakan, informasi tersebut kemudian didistribusi ke seluruh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah juga ke masyarakat.

Malau mengakui bahwa tidak semua pelabelan hoaks yang dilakukan Kominfo selalu tepat, karena beberapa kali juga ada yang keliru.

“Memang di beberapa kasus kami salah, tapi memang bisa saja salah—mungkin masalah waktu. Bisa di-googling bahwa Kementerian Kominfo dinyatakan salah dalam memberikan keterangan. Dan, ini seakan-akan menjadi klaim pemerintah kalau pemerintah mengatakan hoaks,” kata Malau.

Sebelumnya, Kementerian Kominfo pernah memberi label hoaks terhadap berita peretasan basis data Sistem Informasi Personel Polri (SIPP) pada Juni 2020.

Berita tersebut bermula dari cuitan Pendiri Komunitas Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto yang mengunggah informasi peretasan di Twitter. Pejabat Polri membantah informasi yang disampaikan Teguh dan menyebutnya sebagai hoaks.

Kementerian Kominfo pun mengutip ucapan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono. Ucapan inilah yang dijadikan dasar sebagai stempel hoaks. Cuitan Teguh pun diberi label hoaks dengan judul “[HOAKS] Seseorang Mengklaim Sudah Berhasil Membobol Data Seluruh Anggota Polri”.

Artikel yang diunggah Kominfo itu menyimpulkan bahwa "Informasi kebocoran data internal Polri adalah hoaks. Polisi memastikan tidak ada pembobolan data internal Polri. Polisi juga terus memburu penyebar hoaks tersebut."

Membalas stempel hoaks, gilirang si peretas mengunggah video saat mengakses basis data Polri tersebut.

Tak lama kemudian, Kominfo diam-diam telah menghapus konten yang menyebut pembobolan basis data Polri itu sebagai hoaks.[] (Baca: Kominfo Diam-diam Hapus Konten yang Sebut Bobolnya Database Polri Sebagai Hoaks)

Redaktur: Andi Nugroho