Aktivis Arab Saudi Gugat Mantan Intelijen AS karena Meretas iPhone-nya
Cyberthreat.id – Aktivis Arab Saudi, Loujain al-Hathloul, yang terkenal karena protesnya terhadap larangan mengemudi bagi kaum perempuan di negaranya, menggugat tiga mantan pejabat intelijen dan militer Amerika Serikat.
Pada Kamis (9 Desember 2021), Eletronic Frontier Foundation, sebuah organisasi nirlaba, yang membantu al-Hathloul, mengumumkan gugatan terhadap Marc Baier, Ryan Adams, dan Daniel Gericke, serta sebuah perusahaan keamanan siber DarkMatter yang disewa oleh Uni Emirat Arab.
Dalam gugatannya, al-Hathloul menuding bahwa ketiga orang tersebut mengawal proyek untuk DarkMatter untuk meretas iPhone miliknya, melacak lokasi dan mencuri informasi.
Ia mengatakan peretasan telepon selulernya menyebabkan “penangkapan sewenang-wenang oleh Dinas Keamanan UEA dan pengiriman dirinya ke Arab Saudi, di mana dirinya ditahan, dipenjara, dan disiksa.”
“Perusahaan yang menjual perangkat lunak dan layanan mata-matanya kepada pemerintah yang menindas harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang diakibatkan (oleh perangkat lunaknya),” kata Direktur Kebebasan Sipil EFF, David Greene, dikutip dari Associated Press, diakses Jumat (10 Desember 2021).
Disebutkan dalam gugatan, DarkMatter menjuluki al-Hathloul dengan nama kode “Purple Sword”, mengutip investigasi peretasan oleh Reuters pada 2019.
Pada September lalu, baik Baier, Adams, dan Gericke mengakui telah menyediakan teknologi peretasan komputer canggih ke UEA. Mereka juga sepakat untuk membayar US$1,7 juta untuk menyelesaikan tuntutan pidana dalam perjanjian penuntutan yang ditangguhkan, tulis Departemen Kehakiman AS
al-Hathloul ditangkap pada 2018. Pengadilan memvonisnya hukuman hampir enam tahun penjara tahun lalu karena dinilai melanggar undang-undang kontraterorisme. Ditahan selama 1.001 hari, dia dituding melakukan kejahatan seperti menghasut perubahan, menggunakan internet untuk menyebabka kekacauan dan mengejar agenda asing.
Di penjara, ia mogok makan dan memprotes kondisi penjara itu sendiri. Ia bersaksi di persidangan bahwa dirinya disiksa dan diserang secara seksual oleh pria bertopeng selama interograsi penyidik.
Kasus al-Hathloul memicu isu internasional, bahkan Presiden AS Joe Biden menyebutnya sebagai “aktivis kuat untuk hak-hak perempuan” ketika perempuan tersebut dibebaskan pada Februari lalu.[]