Di China, Petugas Perbatasan Instal Malware di Ponsel Turis

Peta perbatasan antara Xinjian dan Kirgistan. | Foto: The Guardian

Beijing, Cyberthreat.id – Ini alarm bagi para traveler yang mau jalan-jalan ke China. Pasalnya, Pemerintah China telah melakukan praktik mata-mata bagi para wisatawan yang masuk ke negaranya.

Praktik mata-mata terjadi di perbatasan antara Xinjian dan Kirgistan. Aplikasi ini terungkap setelah para pelancong membawa ponsel mereka ke wartawan di Jerman.

Menurut The Guardian, yang diakses Minggu (7 Juli 2019), praktik itu sengaja untuk mengunduh informasi pengunjung di wilayah Xinjiang yang terpencil.

Pemerintah China memang telah membatasi kebebasan di provinsi itu bagi penduduk Muslim setempat dengan memasang kamera pengenal wajah di jalan-jalan dan masjid. Pemerintah juga dikabarkan sengaja dipaksa untuk mengunduh perangkat lunak yang bisa mencari ponsel mereka.

Dari hasil investigasi The Guardian bersama sejumlah lembaga, termasuk Süddeutsche Zeitung dan New York Times, menemukan praktik itu terjadi khususnya bagi para pelancong.

Penjaga perbatasan terlebih dulu mengambil ponsel mereka dan secara diam-diam memasang aplikasi yang bisa mengekstrak email, teks, dan kontak serta informasi tentang handset itu sendiri.

Para pelancong tak pernah diberitahukan sebelumnya tentang apa yang “disedot” oleh perangkat lunak itu, tulis The Guardian.

Edin Omanovic, aktivis dari Privacy International, menggambarkan temuan itu sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Sebab, salah mengunduh aplikasi atau membaca berita bisa-bisa malah masuk bui.

Aplikasi yang diduga untuk praktik mata-mata di sebelah pojok kanan. Aplikasi ini dipasang di ponsel Android milik pelancong di perbatasan berada Xinjian dan Kirgistan.. | Foto: The Guardian

Analisis The Guardian bersama Süddeutsche Zeitung, Ruhr-University Bochum dan perusahaan cybersecurity Jerman Cure53 bahwa aplikasi yang didesain oleh perusahaan China itu khusus dipasang di ponsel Android untuk melihat konten-konten dinilai bermasalah.

Salah satu kekhawatiran dari pemerintah yaitu terkait dengan ekstremisme Islam, termasuk Inspire, majalah berbahasa Inggris yang diproduksi oleh jaringan Al Qaeda di Semenanjung Arab dan berbagai manual operasi senjata.

“Namun, aplikasi itu juga mencari informasi berbagai bahan lain–dari soal puasa selama Ramadhan hingga literatur Dalai Lama, bahkan musik band metal Jepang, Unholy Grave,” tulis The Guardian. Termasuk pula buku karangan penulis Amerika Serikat, Robert Greene, yang berjudul “33 Strategies of War”.

Sekitar 100 juta orang baik wisatawan domestik maupun asing berkunjung ke Xinjiang tiap tahun, demikian menurut data Otoritas China.

Penyeberangan Irkhestam (dari Xinjian menuju Kirgistan dan sebaliknya) adalah perbatasan paling barat di China dan dipakai para pedagang dan turis, beberapa di antaranya juga mengikuti Jalur Sutera yang bersejarah itu.

Saat melintasi perbatasan, satu per satu pelancong diminta untuk menyerahkan ponsel dalam kondisi tidak terkunci, termasuk juga perangkat kamera. Perangkat yang diambil tersebut dibawa ke ruang terpisah dan baru dikembalikan ke pelancong setelah beberapa waktu menunggu.

“Untuk ponsel iPhone petugas mencolokkan ke sebuah alat pemindai, sedangkan ponsel Android dipasang aplikasi,” tulis The Guardian.

Sebagian besar kasus yang ditemukan, aplikasi memang telah dihapus instalasinya sebelum telepon dikembalikan, tetapi beberapa turis masih menemukan aplikasi itu di ponselnya.

Meskipun tidak ada bukti bahwa data tersebut digunakan untuk melacak orang di kemudian hari, informasi yang dikumpulkannya akan memungkinkan pihak berwenang untuk menemukan seseorang jika digunakan bersama dengan detail lokasi telepon.

“Muncul dengan ikon Android default dan kata-kata 蜂 采 (Fēng cǎi); istilah ini tidak memiliki terjemahan bahasa Inggris langsung, tetapi berkaitan dengan lebah yang mengumpulkan madu,” tulis The Guardian.

Omanovic mengatakan, "Ini adalah contoh lain mengapa rezim pengawasan di Xinjiang adalah salah satu yang paling melanggar hukum, meluas dan kejam di dunia,” tulis dia.

Maya Wang, peneliti senior China di Human Rights Watch, mengatakan, “Kita sudah tahu bahwa penduduk Xinjiang, khususnya Muslim Turki menjadi sasaran pengawasan sepanjang waktu dan multidimensi di wilayah tersebut,” kata dia.

Otoritas China yang dihubungi untuk memberikan komentar, sayangnya mereka tidak meresponsnya.