Ini Beda Bukit Alogritma dengan Ide Silicon Valley Indonesia Lainnya, Menurut Budiman
Cyberthreat.id – Rencana politisi PDIP Budiman Sudjatmiko membangun megaproyek Bukit Algoritma, sebuah kawasan pusat industri, riset, dan teknologi seperti Silicon Valley di AS, masih menyimpan banyak pertanyaan di kalangan publik.
Meski bukan proyek negara, proyek yang diperkirakan menelan Rp18 triliun itu bakal dibangun di Sukabumi, Jawa Barat oleh PT Amarta Karya (AMKA), sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Amarta telah resmi ditunjuk sebagai mitra infrastruktur dalam teken kontrak pada 7 April lalu.
Ide “Sillicon Valley Indonesia” sebenarnya bukan kali ini saja tercetus. Sebelumnya muncul ide-ide serupa, salah satunya, Bandung High Tech Valley yang digagas oleh Pakar IT dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Rahardjo. Sayangnya, tidak ada eksekusi yang jelas.
Budiman, juga Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO, mengatakan, Bukit Algoritma dengan ide-ide Silicon Valley Indonesia sebelumnya memiliki perbedaan mendasar.
Bukit Algoritma, kata dia, tidak menerapkan konsep Technology Readiness Level (TRL) seperti yang diterapkan penggagas sebelumnya, di mana mengumpulkan orang-orang pintar TI terlebih dulu, lalu menciptakan pasar dengan orientasi ekspor, bersaing di kancah internasional.
Sementara, Bukit Algoritma didasari dari Demand Readiness Level (DRL) atau tingkat kematangan pasar pada perkembangan teknologi di kalangan masyarakat desa.
“Kenapa tidak menguatkan pasar domestik, itulah menjadi ciri pembeda dengan yang lain. DRL yang mendahului, baru TRL, lalu kita merumuskan rumus baru CRL, Collaborative Readiness Level, tingkat kesiapan gotong royong sisi investasi, produsen, dan konsumennya,” kata dia.
Hal itu dituturkan Budiman di sedaring bertajuk “Kepoin Bukit Algoritma” yang diselenggarakan oleh Universitas Panca Bhakti, HeyLaw, InnovatorID, IndoBIG Network, CinnamonTalk, Inovator.id, Jenaka, Mojadiapp, dan Cyberthreat.id, Minggu (2 Mei 2021).
Bukit Algoritma, kata dia, bukan sekadar mengumpulkan para ahli-ahli yang menguasai kecerdasan buatan (AI), komputer kuantum, dan sebagainya, melainkan lebih ke ekosistem transformasi digital.
“Indonesia memiliki orang-orang pintar, sayangnya tidak ada ekosistem yang menciptakan TRL bersatu dengan DRL itu,” ujar dia.
“Ada peluang dari DRL di desa dengan adanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) beserta koperasi-koperasi di desa yang tidak sekadar koperasi simpan pinjam saja,” ia menambahkan.
Oleh karenanya, awal-awal Bukit Algoritma akan melangkah memperkuat konsep DRL, barulah masuk ke ranah TRL.
Budiman mengatakan, sangat terbuka dengan kolaborasi dari segala pihak dalam proyek yang bakal memakan waktu 11 tahun, terdiri dari tiga bentuk, yaitu riset dan pengembangan (R&D), manufaktur, dan eksositem.
Regulasi sebagai fondasi
Sementara itu Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id, Nurlis Effendi yang ditunjuk sebagai penanggap dalam sesi diskusi, lebih menyoroti proyek Bukit Algoritma dari sisi regulasi.
Menurut Nurlis, tanpa adanya dasar regulasi yang jelas, proyek tersebut akan menjadi perdebatan ke depan. “Apakah Mas Budiman ini sudah menyisir regulasi-regulasi yang akan dipakai untuk menggerakkan Bukit Algoritma?” tutur dia.
“Apakah butuh aturan-aturan baru untuk Bukit Algoritma? Itu saja prinsip dasarnya. Karena regulasi yang enggak tertata rapi, saya kira akan kesulitan ke depan,” ia menambahkan.
Menjawab pertanyaan itu, Budiman mengatakan Undang-Undang Desa dan UU Cipta Kerja mendukung gagasan Bukit Algoritma. Pertimbangannya ialah rakyat dapat berinvestasi tanpa adanya hambatan birokrasi.
Lalu, dukungan UU terkait pendidikan dan kesehatan. Karena, menurut dia, inovasi-inovasi bisa berdampak pada sektor pendidikan dan kesehatan.
Namun, menurutnya, masih ada satu lagi regulasi yang ingin diusulkan yaitu “Data Raksasa dan Pemerintahan 4.0”. Ide regulasi ini telah digagasnya sejak 2019 saat dirinya kampanye sebagai calon wakil rakyat, sayangnya dirinya tidak terpilih. Regulasi tersebut penting ada, kata dia, untuk menghadapi suatu kondisi yang memerlukan keputusan cepat berbasiskan data yang digerakkan oleh AI.
Ia memperkirakan pada 2045 manusia akan terkalahkan dengan kecanggihan AI—teknologi ini akan lebih cerdas, akurat, dan cepat karena mesin pembelajaran (ML) yang terus belajar.[]
Redaktur: Andi Nugroho