Guru Besar UI Tunggu Gebrakan Menteri Nadiem Soal Risiko Internet Masuk Kurikulum

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat,id - Di balik kemudahan yang dihadirkan oleh koneksi internet, ada risiko-risiko yang tak disadari oleh banyak orang. Khususnya terkait keamanan, pembajakan akun lewat berbagai metode, penyebaran data pribadi yang berujung teror atau penipuan, hingga dampak sosial bagi masyarakat.

Karena itu, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Profesor Kalamullah Ramli mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memasukkan kurikulum pendidikan tentang pengenalan risiko internet.

"Saya malah tunggu gebrakannya mas Nadiem ini. Dia kan orang yang sangat sadar akan internet. Mestinya dia memasukkan itu ke kurikulum sejak SD, SMP, SMA. Jadi bagian integral dari kurikulum," kata Prof Kalamullah ketika berbincang dengan Cyberthreat.id, Rabu (14 April 2021).

Menurut Kalamullah, pengenalan mengenai risiko internet perlu diperkenalkan sejak dini kepada anak-anak karena sudah mulai menggunakan gadget.

"Jadi nanti anak-anak kita sejak mengenal internet mereka tahu risikonya, jangan hanya teknologinya saja yang diajarkan, risikonya tidak. Tidak balances [seimbang] jadinya," ujar Kalamullah yang juga inisiator Indonesia Cyber Awareness and Resilience Institute UI  (id-CARE.UI).

Kalamullah mengakui seringkali yang diajarkan kepada anak-anak hanya manfaatnya dari teknologi itu sendiri, seperti halnya penggunaan perangkat lunak untuk membantu tugas-tugasnya, misalnya software komersial berlisensi.

Namun, menurutnya guru-guru juga memberikan tugas kepada muridnya tetapi tidak memikirkan apakah muridnya memiliki software itu sehingga mendorong pembajakan atau melakukan berbagai upaya ilegal untuk mendapatkan software tersebut. Padahal, selain melanggar hukum, menggunakan perangkat lunak bajak juga rentan terhadap serangan virus atau malware.

"Anak-anaknya perlu beli software lisensi, itu tidak dipikirkan oleh guru-guru, kalau di sekolah kan ada lab berlanggan. Sekolah dari rumah, guru harus mengubah caranya mengajar, tidak bisa dengan pola sekolah fisik" ujarnya.

Kalamullah pun mengusulkan para pengajar dapat memanfaatkan software sumber terbuka yang gratis tanpa membeli lisensinya, atau software lain yang tidak membutuhkan lisensi sehingga penggunaannya tidak melanggar hukum.

"Jadi kampanye awareness menurut saya itu penting bagi semua kalangan," katanya.

Kalamullah mengakui sekarang mulai terlihat beberapa program pemerintah seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memberikan literasi digital kepada anak sekolah dan pendidik. Namun, kata itu, itu saja belum cukup lantaran masih bersifat sporadis. Itu sebabnya, Kalamullah menilai cara yang sistematis adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan.

Kesadaran akan resiko internet ini menurutnya penting untuk terus dikampanyekan karena dia melihat masih banyak yang menggunakan media sosial untuk menghina-hina orang lain hingga menyebarkan data pribadinya sendiri.

"Masyarakat masih suka ceroboh, lalai menempatkan data pribadi mereka di medsos, difoto, diupload di Instagram, Facebook, Twitter. Padahal dengan data pribadi itu orang jahat bisa melakukan apa saja," kata Kalamullah yang pernah menjabat sebagai Dirjen Pos dan Penyelenggaraan Informatika (PPI) di Kominfo pada 2014.

"Penyadaran-penyadaran itu penting bagi masyarakat Indonesia, agar tidak terlalu naif, mengerti risikonya paling tidak." tuturnya

Kurikulum terkait dunia siber sudah menjadi isu sejak awal tahun lalu. Direktur Pusat Kurikulum dan Pengarsipan Kemendikbud, Awaluddin Tjalla mengatakan untuk saat itu pemerintah belum akan memasukkan mata pelajaran cybersecurity ke dalam kurikulum pendidikan dasar di Indonesia.

"Mengenai pendidikan keamanan siber belum pernah dibicarakan," Awaludin saat ditemui oleh Cyberthreat.id  di Jakarta, Selasa (18 Februari 2020).

Menurut dia, pendidikan cybersecurity akan dikaji terlebih dahulu untuk selanjutnya dapat dimasukkan ke kurikulum. "Nanti kami kaji lagi. Karena kalau terlalu banyak kurikulum, seperti saat ini saja sudah sangat berat," kata dia.

Sebelumnya, Ketua CISSReC juga pakar cybersecurity, Pratama Persadha, mengatakan, pemerintah sudah saatnya memikirkan untuk memasukkan materi keamanan siber dalam sistem kurikulum pendidikan nasional.

Menurut dia, hingga saat ini belum ada usaha dari pemerintah untuk pendidikan cybersecurity. "Tanpa edukasi sejak dini, maka kejadian peretasan itu bisa terus terjadi, bahkan menjadi hal yang biasa. Padahal hal tersebut bisa direduksi minimal dengan edukasi luas kepada publik," ujar Pratama ketika dihubungi Cyberthreat.id, Senin (17 Februari).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Komunitas Honeynet Project Indonesia, Charles Lim. Menurut dia, pengenalan pendidikan cybersecurity perlu dimulai sejak dini, mulai SD hingga SMA.

“Mengingat generasi muda sekarang telah bersentuhan dengan dunia internet lebih awal," ujar Charles ketika ditemui Cyberthreat.id pada 12 November 2019.

"Akan lebih baik lagi jika pemerintah memasukkan pendidikan keamanan siber dalam kurikulum pendidikan agar anak-anak memiliki panduan berinternet,” Charles menambahkan.[]

Editor: Yuswardi A. Suud