Anggota BPKN: Keterbukaan Insiden Siber ialah Bentuk Perlindungan Konsumen

Anggota BPKN Heru Sutadi | Foto: Tangkapan layar Cyberhreat.id/Oktarina Paramitha Sandy

Cyberthreat.id – Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi, mengatakan, keterbukaan organisasi atau perusahaan atas kasus insiden siber yang menimpanya, justru menjadi salah satu bentuk perlindungan konsumen.

Menurut Heru, dengan semakin terbukanya perusahaan atas insiden siber berarti mereka telah mengutamakan perlindungan konsumen, setidaknya melalui emergency alert yang dikirimkan kepada konsumen.

Meskipun keterbukaan tersebut tidak menjamin keamanan data yang telah dicuri, setidaknya konsumen mampu melakukan langkah mitigasi untuk mencegah serangan lebih lanjut.

“(Penyedia) aplikasi ini harus mau menerima masukan ketika terjadi kasus kejahatan siber, bukannya malah kebanyakan diam,” ujar Heru dalam diskusi Indonesia Consumer Club berjudul “Ratusan Juta Data Pengguna Media Sosial Jebol” yang diadakan BPKN secara virtual melalui saluran YouTube, Kamis (15 April 2021)

“Dalam kebanyakan kasus [insiden siber] mereka diam, padahal hal tersebut memberikan ketidakpastian terhadap konsumen. Mereka harusnya bicara, memberitahukan apa yang terjadi,” Heru menambahkan.

Selain itu, Heru berpendapat bahwa regulator (pemerintah) dinilai masih menyepelekan kasus kebocoran data sehingga mereka juga “ikut diam” dalam beberapa kasus.

Regulator juga dinilai tidak tegas dengan tidak memberikan sanksi atau denda atas beberapa kasus kebocoran data yang berdampak pada data pribadi pengguna Indonesia.

“Ini harus menjadi catatan…dan negara harus hadir…karena dengan terbukanya data pribadi, semua data kita bisa diambil,” tambah Heru.

Terkait dengan berbagai kasus kebocoran data yang terjadi, Heru mengatakan, ada dua sisi yang harus menjadi perhatian, yaitu regulasi dan pemahaman penggunaan teknologi bagi konsumen.

Saat ini ada beberapa regulasi yang mengatur soal kasus kebocoran data yaitu di UU ITE dan Peraturan Menkominfo. Namun, regulasi yang sudah ada masih belum cukup kuat untuk melindungi konsumen sehingga satu–satunya yang harus dilakukan adalah segera mengesahkan RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP).

“Kita berharap UUini mampu menjawab persoalan yang ada dan berulang kali terjadi,” ujar dia.

Selain itu, Heru juga menyoroti soal edukasi digital kepada konsumen. Menurutnya, masih banyak konsumen yang belum sepenuhnya memahami dan mampu memanfaatkan teknologi baru secara baik.

Akibatnya, banyak konsumen yang menjadi korban kejahatan siber, misalnya, dalam kasus phishing dan penyalahgunaan kode sandi sekali pakai (OTP)—ini terjadi karena ketidaktahuan pengguna terkait modus modus kejahatan itu.

“Kita harus edukasi konsumen. Jangan sampai mereka hanya menggunakan tanpa tahu kejahatan siber yang mengintai mereka,” kata Heru.[]

Redaktur: Andi Nugroho