Reuters: Microsoft dan Pemerintah Singapura Masuk ke Bukalapak
Cyberthreat.id - Perusahaan e-commerce Bukalapak mendapat suntikan modal senilai US$ 234 juta (setara Rp3,4 triliun) dalam putaran pendanaan yang dipimpin oleh Microsoft, Pemerintah Sinngapura lewat GIC (Government of Singapore Investment Coropration), dan konglomerat media lokal Emtek.
Pemberitaan Reuters pada Rabu (14 April 2021) menyebutkan, angka itu berdasarkan dokumen penjualan yang diperoleh dari sumber yang tak disebutkan namanya.
Putaran pendanaan terbaru datang di tengah hiruk pikuk minat dari investor global untuk mendapatkan eksposur ke sektor teknologi Asia Tenggara yang berkembang pesat dengan prospek daftar startup bernilai puluhan miliar dolar.
Putaran pendanaan untuk startup berusia 11 tahun itu,juga termasuk SC Ventures, cabang investasi Standard Chartered, dan portal web Korea Selatan Naver Corp.
Bukalapak, yang pada Oktober 2019 dikatakan bernilai lebih dari US$ 2,5 miliar, menolak berkomentar.
Sumber Reuters mengatakan bahwa perusahaan yang mengklaim digunakan oleh lebih dari 100 juta pengguna itu berencana untuk listing di bursa saham Indonesia lewat Mandiri Sekuritas, sebelum melakukan merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC) di Amerika Serikat.
Bukalapak diperkirakan akan menghadapi persaingan pasar publik yang ketat dari perusahaan ride-hailing dan pembayaran Indonesia Gojek dan saingan e-commerce Tokopedia yang lebih besar, yang menurut sumber Reuters, hampir menyelesaikan merger menjelang kemungkinan pencatatan ganda di bursa saham Jakarta dan Amerika Serikat.
Catatan Cyberthreat,id, bagi Microsoft, ini bukan pertama kalinya perusahaan asal Amerika Serikat itu bermitra dengan Bukalapak. Pada 3 November 2021, seperti diumumkan Microsoft di situs resminya, kedua perusahaan menyepakati kemitraan strategis. Mengawali kerja sama itu, Bukalapak mengadopsi Microsoft Azure sebagai preferred cloud platform dan Microsoft akan melakukan investasi strategis di Bukalapak.
Di sisi lain, masuknya GIC Singapura ke Bukalapak memperpanjang daftar cengkraman negara tetangga itu di lapak digital Indonesia.
Sebelumnya, holding BUMN Singapura, Temasek, juga mengempit sebagian saham Tokopedia yang notabenenya adalah saingan Bukalapak. Pada 16 November lalu, CEO Tokopedia William Tanuwijaya secara resmi mengumumkan masuknya Temasek ke perusahaan yang didirikannya itu. Dia tak menyebut berapa dana yang terima. Namun, media ekonomi Bloomberg menyebut Temasek dan Google menyuntiikan dana sebesar US350 juta ke Tokopedia. Sebelumnya, raksasa teknologi China Alibaba Grup dan Softbank juga telah berinvestasi di sana.
Selain di Tokopedia, Temasek juga mencatat kepemilikan 35 persen saham di Telkomsel lewat Singtel.
Gojek juga tak lepas dari genggaman tangan Temasek. Bahkan, Temasek lewat Gamvest Pte Ltd dan Anderson Investment diebut-sebut sebagai pemegang saham terbesar di perusahaan yang didirikan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim itu.
Di balik nilai ekonomi yang dijanjikan dari investasi perusahaan milik pemerintah Singapura itu, muncul pertanyaan soal kedaulatan data. Sebab, model bisnis ekonomi digital sangat bergantung pada data pengguna. Sementara pemerintah menggembar-gemborkan soal pentingnya kedaulatan data, namun tidak jelas benar bagaimana perusahaan-perusahaan Indonesia yang dimodali oleh pemerintah Singapura di atas memperlakukan data warga Indonesia. (Lihat: Cengkraman Temasek Singapura di Startup Digital Kita, Apa Kabar Kedaulatan Data?)
Yang jelas, perusahaan marketplace asal Singapura --juga bagian dari jaringan Temasek-- yang beroperasi di Indonesia menyebutkan dalam kebijakan privasinya bahwa mereka dapat menyimpan data penggunanya di luar negara penggunanya.
"Data dan/atau informasi pribadi Anda dapat dialihkan, disimpan atau diolah di luar negara Anda. Shopee hanya akan mengalihkn informasi Anda ke luar negeri sesuai dengan Undang-undang Privasi." (Lihat: Shopee Sebut Bisa Simpan Data Pengguna di Luar Negeri, Kedaulatan Data Hanya Omong Kosong?)
Tidak jelas benar Undang-undang Privasi mana yang dimaksud. Sebab, pemerintah dan DPR RI belum merampungkan pembahasan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi yang mengatur tentang bagaimana data warga negara Indonesia seharusnya diperlakukan.[]