5 Simpulan Sementara Tim Kajian Revisi UU ITE

Ketua Tim Kajian Revisi UU ITE, Sugeng Purnomo. | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id/Tenri Gobel

Cyberthreat.id – Tim Kajian Revisi Undang-Undang ITE bentukan Kementerian Koordinator Polhukam RI telah mengundang berbagai perwakilan publik untuk mendapatkan pandangan terkait undang-undang tersebut.

Hingga Rabu (10 Maret 2021), tim tersebut telah menerima 34 narasumber dan terakhir menerima pandangan dari perwakilan asosiasi pers dan LBH Pers sebanyak lima narasumber.

"Namun, masih ada narasumber lainnya yang dipersiapkan," kata Ketua Tim Kajian Revisi UU ITE, Sugeng Purnomo dalam sedaring peluncuran riset Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bertajuk "Mengatur Ulang Kebijakan Pidana di Ruang Siber", Rabu.

Berdasarkan diskusi bersama 29 narasumber (sebelum menerima asosiasi pers dan LBH Pers), Sugeng menyampaikan simpulan sementara dari para narasumber, antara lain:

  1. UU ITE tetap diperlukan untuk menjaga penggunaan ruang digital tetap beretika, produktif, dan berkeadilan
  2. Meningkatkan sosialisasi dan edukasi terkait tata krama penggunaan ruang digital kepada generasi muda dan disarankan masuk dalam kurikulum pendidikan
  3. Aparat penegak hukum hendaknya menjalankan tugas dan fungsinya dengan profesional dan adil
  4. Dalam hal wartawan membuat tulisan terkait tugas jurnalistik apabila terjadi pelanggaran tidak menggunakan UU ITE, tapi menggunakan UU Pers
  5. Pasal-pasal yang banyak disorot untuk dilakukan formulasi ulang adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 juncto Pasal 51 ayat (2).

"Pasal 36 khusus dihubungkan karena disinggung-singgung katakanlah pemberatan pemidanaannya hingga orang yang mestinya tidak bisa dilakukan penahanan karena melanggar karena dituduh melanggar pasal 27 ayat 3, kemudian dihubungkan dengan ini akhirnya ancamannya cukup berat," ujarnya.

Terkait pasal 27 ayat 1, menurut Sugeng, pasal ini memang bisa mengenai siapapun yang mentransmisikan sesuatu "keasusilaan" dari satu pihak ke pihak lainnya melalui sistem elektronik.

Hal itu dikatakannya berdasarkan definisi "mentransmisikan" yang terdapat pada bagian penjelasan UU ITE. Sugeng mencontohkan, seperti suami istri yang sah melakukan hubungan apa pun, tetapi karena jarak memisahkan sehingga membuat video, lalu mentransmisikan "keasusilaan"  dari ponsel yang satu ke ponsel yang lain, itu sudah masuk kategori terkena pasal.

"Kalau [video] itu tersebar luas mereka ini jadi korban. Korban dari penyebaran itu, karena dengan kejadian itu, akan berdampak kerugian pada dirinya, setidaknya kerugian immateril," katanya. 

Namun, untuk penjelasan apa itu “keasusilaan”, Sugeng mengakui memang tidak ada dalam pasal itu.

Kemudian, pada bagian penjelasan Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4), Sugeng mengatakan bahwa ketentuan ayat itu mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sesuai dengan UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kata Sugeng, tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma [dibatang tubuh] dan penjelasan tidak dapat digunakan untuk membuat peraturan lebih lanjut.

Lalu, Pasal 28 tentang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Pasal ini, kata Sugeng, disorot karena menjadi pasangan harmonis dari pasal 27 ayat 3.

Sugeng pun mengatakan bahwa penegak hukum tidak salah dan sudah benar mempersepsikannya.

"Kenapa sudah benar? Ya memang unsurnya itu, rasa kebencian dan permusuhan individu dan atau kelompok. Jadi, karena ada unsur individu maka boleh, masalah yang terbukti mana, itu urusan pengadilan," katanya.[]

Redaktur: Andi Nugroho