Mahfud MD: UU ITE Sekarang sudah Cukup Jelas

Menkopolhukam RI Mahfud MD | Foto: Arsip Setkab RI

Cyberthreat.id – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD mengatakan gagasan untuk merevisi UU ITE bermula dari keluhan masyarakat yang diterima Presiden Joko Widodo terkait adanya “pasal karet”.

Maka dari itu, kata Mahfud, ada dua perintah yang dari presiden yaitu meminta Polri membuat interpretasi dalam bentuk kriteria apa yang bisa ditindak secara hukum dan apa yang tidak perlu ditindaklanjuti.

Jika memang betul ada pasal-pasal karet yang menghambat demokrasi, kata dia, presiden meminta untuk mempelajari kembali kemungkinan revisi terhadap UU.

“Jangan sampai masyarakat dirugikan…jadi, demokrasi jalan, digital jalan,” ujar dia dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan di saluran YouTube whytv? official, Selasa (2 Maret 2021).

Pekan lalu, Mahfud juga mengatakan, pemerintah saat ini sudah membuat dua sub tim kajian implementatif dan kajian revisi. Yang implementatif ini sudah dimulai duluan oleh Polri melalui surat edaran kapolri.

Menurut Mahfud, pada awal pembuatan UU ITE ada dua hal utama yang menjadi tujuan, yaitu bagaimana masyarakat Indonesia menjaga ruang digital; karena digitalisasi adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Kedua, bagaimana menjaga eksistensi dan keselamatan negara dan bangsa dengan membangun demokrasi dan hukum secara kuat.

“Dulu kita pernah mengatakan akan bahaya kalau dunia ini dibiarkan seperti ini tanpa ada pengaturan, bisa hancur kita karena fitnah, karena ujaran kebencian, karena berita bohong provokasi dan sebagainya yang dibuat melalui internet protocol, maka lahirlah UU ITE,” ujar dia dikutip dari saluran YouTube PWI Pusat, Jumat (26 Februari).

Mahfud mengatakan, secara pribadi, dirinya melihat UU tersebut tidak bermasalah. “Apa coba yang bermasalah? Misal, orang ditangkap karena memfitnah. Kalau ditangkap kan karena diadukan oleh orang yang difitnah. Kalau delik umum ya memang hukumnya seperti itu,” kata dia kepada whytv? official.

“Persoalan, misal, ada kesalahan penerapan, itu tidak karena UU-nya juga…kesalahan terletak pada orang, pada hakimnya, karena tafsir itu.”

“Karena di pengadilan tergantung pada keyakinan hakim meskipun datanya sama nih, tapi mens rea-nya (niat jahat) berbeda. Nah itu yang dianggap tidak adil.”  

Ia pun berencana mengundang menkumham dan menkominfo untuk menerjemahkan mana yang harus interpretasi, mana yang direvisi.

“Terkait interpretasi kan hanya pedoman teknis saja sebetulnya. Kalau hukumnya sendiri kan sudah jelas. Menurut saya, UU yang ada sekarang itu sudah cukup, dalam artian, yang dipersoalkan kan pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 3. Orang yang melakukan fitnah, pencemaran nama baik, itu kan sebenarnya ada di KUHP,” ujarnya.[]

Redaktur: Andi Nugroho