Edmon Makarim: Revisi UU ITE Bukan Hapus Pasal, Melainkan Menyempurnakan UU
Cyberthreat.id – Pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia, Edmon Makarim mengatakan, merevisi UU ITE seharusnya bukan malah menghapus suatu pasal,melainkan untuk menyempurnakan undang-undang tersebut. Namun, dalam merevisi ini jangan sampai melupakan dasar filosofis, sosiologi, dan yuridisnya.
Edmon menyarankan, ketimbang pasal yang dianggap “pasal karet” dihapus, seharusnya pemerintah kembali kepada peraturan pasal 43 ayat (6) UU ITE yang lama (UU Nomor 11/2008).
“Atau, membuat peraturan kapolri yang memperjelas bagaimana menerapkan delik aduan dengan lebih baik, yaitu menerapakan restorative justice (perdamaian para pihak),” ujar Edmon kepada Cyberthreat.id, Sabtu (20 Februari 2021) malam.
Kemudian, terkait upaya untuk merevisi rumusan UU ITE, lebih baik mensinkronkannya pasal yang ada dengan rumusan Bab XVI KUHP tentang Delik Penghinaan. Namun, kata dia, hal ini berpotensi polemik karena akan sangat tergantung kepada perbedaan pendapat para ahli, di mana argumen umumnya KUHP dibuat bukan dalam masa komunikasi elektronik seperti sekarang.
“Restorative justice merupakan upaya penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak,” ujar Dekan FH UI tersebut.
Jika menghapus pasal
Edmon mengatakan, bila memang ingin menghapuskan pasal 27 ayat (3), perlu dipertimbangkan dengan matang dan memikirkan bagaimana dampaknya kepada norma masyarakat di kemudian hari.
“Adanya delik penghinaan adalah untuk melindungi kemanusiaan itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan sila kedua Pancasila, dan secara sosiologis masyarakat juga menerapkan sikap tindak perilaku yang ajeg,” ujar Edmond.
Selain itu, sesuai dengan pasal 28 huruf (j) UUD 1945 dan Article 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), pada saat menjalankan freedom of expression, setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab hukum (duties and responsibilities) untuk menghargai hak orang lain, ketertiban umum, norma masyarakat/public moral, dan keamanan nasional.
“Pembatasan ini diperkenankan dalam bentuk UU. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 terhadap uji konstitusi pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah konstitusional,” ujarnya.
“Di dalamnya menyatakan, kebebasan berekspresi menjadi salah satu pilar demokrasi, namun seringkali tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral, sehingga yang terjadi justru kontra demokrasi seperti, kebohongan publik, pelanggaran asas praduga tidak bersalah dan sebagainya.”
“Kebebasan berekspresi tidak boleh menjadi pisau untuk membunuh privasi, harga diri, dan kehormatan anggota-anggota masyarakat,” kata Edmon.
Untuk itu, menurut dia, kebebasan berekspresi, yang menjadi perwujudan kedaulatan rakyat di Indonesia harus berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supermasi hukum.
Dengan artian, Edmon menjelaskan, kebebasan berpendapat tidak dapat dilaksanakan hanya “demi kebutuhan atau keinginan satu pihak saja” dan “setiap mengutarakan pendapat di internet harus selalu tunduk dengan aturan yang ada.”
Menurut Edmon, dalam kasus penghinaan yang termasuk pemfitnahan secara online seakan-anak hukuman pidana menjadi suatu kelaziman. Padahal, jika kembali kepada prinsip hukumnya, bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (upaya/jalan terakhir).
“Seharusnya, diupayakan terlebih dahulu penerapan hukum keperdataan dalam kasus pencemaran nama baik. Sekiranya tidak dapat diselesaikan secara keperdataan maka Selayaknya dalam penanganan delik aduan lebih diutamakan restorative justice,” ujar Edmon.[]
Redaktur: Andi Nugroho