Revisi UU ITE Diharapkan Hapus Duplikasi Hukum
Cyberthreat.id – Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menyarankan agar revisi UU ITE bisa menghapus duplikasi hukum yang saat ini juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain.
Wahyudi mencontohkan dalam draf Rancangan KUHP per September 2019. Di draf tersebut, ada bab tentang tindak pidana elektronik yang sebenarnya menduplikasi tentang ketentuan-ketentuan pidana di UU ITE.
“Hal ini lah yang seharusnya dijelaskan, apakah semuanya akan dipindahkan ke KUHP bersamaan dengan proses rekodifikasi,” tutur Wahyudi.
Jika bisa terakomodasi dalam proses rekodifikasi KUHP, kata dia, mungkin ketentuan-ketentuan pidana yang tadinya terdapat di UU ITE bisa dijembatani dan dirumuskan dalam ketentuan KUHP.
“Kalau bisa regulasi apa yang sudah ada di UU ITE tidak perlu ada di KUHP, begitu juga sebaliknya. Jadi, tidak menimbulkan multitasfir dan duplikasi hukum,” ujar Wahyudi kepada Cyberthreat.id, Senin (16 Februari 2020).
Wahyudi menambahkan, penghapusan duplikasi hukum ini tak hanya untuk KUHP, tetapi juga pada draf RUU Pelindungan Data Pribadi dan RUU Keamanaan dan Ketahanan Siber.
Wahyudi juga menyarankan, dalam proses revisi UU ITE, pemerintah dapat melihat dan membandingkan dengan model-model regulasi dari negara lain.
Sejauh pengamatan dirinya, belum ada negara di kawasan ASEAN yang menggabungkan seluruh elemen terkait pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam satu undang-undang, selain Indonesia.
UU ITE saat ini, kata dia, menggabungkan dari berbagai regulasi, mulai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, perniagaan elektronik, dan tanda tangan elektronik.
Di Malaysia, kata Wahyudi, justru memiliki undang-undang yang terpisah. Misal, Undang-Undang Kejahatan Komputer tahun 1997 yang materinya sama dengan pasal-pasal pidana dalam UU ITE.
Malaysia juga memiliki undang-undang multimedia yang mengatur tentang konten-konten yang ada di internet, UU tanda tangan elektronik, UU perlindungan data pribadi, dan saat ini tengah membahas RUU keamanan siber.
Umumnya, undang-undang dengan judul “pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi” lebih mengarah pada literasi, akses, pendidikan publik dan sebagainya. UU ini tidak mengatur tentang kejahatan siber, keamanan siber, perlindungan data, dan tanda tangan elektronik, tutur Wahyudi.
“Tetapi, kalau pun tetap ingin disatukan dalam satu undang-undang, lebih baik dibuat dengan detail, karena pengaturan yang terlalu umum seperti sekarang, banyaknya elemen yang harus diatur, itu berakibat pada multitafsirnya dalam implementasinya,” ujar dia.[]
Redaktur: Andi Nugroho