Ini Dua Titik Polemik UU ITE Menurut Pakar Hukum TIK
Cyberthreat.id – Ketua Asosiasi Dosen Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi, Siti Yuniarti, menyarankan revisi UU ITE fokus pada Pasal 27 ayat 3 yang seringkali menjadi polemik dalam pelaksanaannya.
Menurut Siti, secara konstitusional, pasal tersebut sudah beberapa kali diuji secara materiil pada sidang Mahkamah Konstitusi dan putusannya selalu konsisten, yaitu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai telah sejalan dengan Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights dan Pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights, serta bentuk pelindungan hukum terhadap hak privasi.
Secara substansi, kata Siti, ada dua hal yang menjadi catatan terkait polemik penerapan Pasal 27 ayat (3). Pertama, sebagai suatu norma perilaku, pasal ini norma sekunder yang belum lengkap.
“Ketidaklengkapan tersebut muncul karena absennya norma operator dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) tersebut,” ujar Siti kepada Cyberthreat.id, Jumat (19 Februari 2021).
Berita Terkait:
- Tangani Kasus UU ITE, Polda dan Polres akan Pakai Pedoman Khusus
- 5 Poin ELSAM Jika UU ITE Direvisi, Salah Satunya Tata Kelola Konten Internet
- Terkait Pelanggaran UU ITE, Kapolri Listyo Minta Bareskrim Bentuk Virtual Police, Apa Itu?
Bunyi Pasal 27 ayat (3) sebagai berikut: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kedua, terminologi “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” juga memberikan kontribusi terhadap polemik penafsiran atas pasal tersebut.
“Ini karena di dalam UU ITE tidak dimuat definisi dan norma penilaian dari terminologi tersebut,” ujar dosen hukum Universitas Binus tersebut.
Hal serupa juga terjadi pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang menurut Mahkamah Konstitusi merupakan genus delict dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Siti mengatakan, norma definisi ini sangat penting dalam penalaran hukum karena berfungsi untuk membatasi pengertian terhadap suatu terminologi. Sementara, norma penilaian juga penting sebagai pedoman untuk mengevaluasi apakah suatu fakta relevan dengan konteks dari suatu aturan atau apakah fakta itu juga mengindikasikan kepatuhan atau pelanggaran terhadap suatu aturan.
“Ketiadaan norma definisi dan norma penilaian tersebut mengakibatkan setiap orang membuat definisi dan standar penilaiannya sendiri, sehingga akibatnya menimbulkan polemik,” ujar dia.[]