RUU PDP Syaratkan Batas Usia Anak Pakai Medsos 17 Tahun, APPDI: Sulit Memverifikasinya!
Cyberthreat.id – Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) mensyaratkan pengguna media sosial minimal berusia 17 tahun. Jika ada pengguna di bawah umur tersebut, harus meminta persetujuan dari orangtua.
Di mata Asosiasi Praktisi Perlindungan Data Pribadi (APPDI), sebetulnya sulit untuk memverifikasi bahwa pengguna medsos, terutama anak-anak telah mendapat izin dari orangtua. Namun, ada cara lain yang bisa diambil, yaitu dengan konsep Know Your Custumer (KYC).
Wakil Ketua APPDI, Ardhanti Nurwidya, mengatakan, dengan konsep tersebut bisa memverifikasi bahwa pengguna anak-anak A adalah benar-benar A, tapi tetap sulit untuk menyakinkan bahwa si A telah mendapat izin orangtua.
“Sifatnya betul-betul face-to-face atau melalui call supaya kita betul-betul tahu si A melakukan tindakan B, tapi banyak hal yang tidak bisa dilakukan untuk hal tersebut,” kata Ardhanti dalam diskusi bertajuk “Sayang Privasi, Lindungi Media Sosialmu”, Jumat (29 Januari 2021).
Berita Terkait:
Menurut Ardhanti, media sosial juga memiliki keterbatasan untuk melakukan mekanisme KYC lantaran penggunanya yang begitu banyak. Contoh, WhatsApp atau Facebook yang memiliki miliaran pengguna, sulit untuk betul-betul memverifikasi “siapa melakukan apa”.
Secara prinsip, kata Ardhanti, konsep persetujuan orangtua tersebut bisa diterapkan untuk YouTube atau Facebook ramah anak, itu yang harus mendapatkan persetujuan orangtua. Akan tetapi, secara teknis susah untuk dijalankan: apakah betul orangtua yang memberikan persetujuan?
Meski sebagian aplikasi ada yang meminta verifikasi memakai KTP atau surat pernyataan (statement letter), menurut dia, justru seperti platform akan terlalu mengelola banyak data.
“Kadang-kadang penyedia aplikasi juga ingin menerapkan data minimisation (minimalisasi data). Jadi, betul-betul memilah data-data apa saja sih yang kita butuh, itu yang kita minta,” ujarnya.
Ketika tidak menerapkan minimalisasi data, data yang dimiliki akan banyak sekali dan memiliki kewajiban menjaga data tersebut.
"Kalau tidak membutuhkannya, cuma capek untuk memikirkan bagaimana menjaganya,” katanya.
Sebenarnya di Indonesia dalam hal perlindungan data anak itu sangat jauh berbeda dengan di luar negeri, kata Ardhanti. Di Indonesia, malah orangtua yang membagikan foto anaknya di media sosial bahkan tidak masalah jika orang lain membagikan foto anaknya.
Di Eropa, sesuai dengan pengalaman Ardhanti sewaktu kuliah, ketika mengambil foto anak kecil yang ditemuinya di ruang ublik, dirinya langsung diminta untuk menghapus foto anak itu oleh orangtuanya.
“Di darkweb, ada banyak yang mengoleksi foto anak yang digunakan untuk pedofil. Jadi, kenapa mereka sangat hati-hati sama foto anaknya karena mereka tidak ingin anaknya menjadi target,” ujarnya.[]
Redaktur: Andi Nugroho